Oleh: Ayunin Maslacha
(Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Surabaya)
Garam seberat 52.500 ton telah datang ke Indonesia dari total impor garam sebanyak 75.000 ton dari Australia pada hari sabtu (12/8) melalui Pelabuhan Ciwandan, Banten dan Tanjung Perak, Surabaya (detik.com 13/8/2017).
Tak ayal, kedatangan garam impor ini membuat petani garam lokal meradang. Pasalnya, sejak kebijakan impor dijalankan, harga garam petani lokal turun drastis. Harga garam yang sempat mencapai Rp 3,8 juta per ton, saat ini turun menjadi Rp 3 juta per ton (jpnn.com12/8/2017). Harga jual yang demikian tentu merugikan petani, karena tidak cukup untuk memenuhi biaya produksi garamnya.
Dilain sisi, pemerintah melalui Kabid Industri Disperindag Agus Eka Haryadi menuturkan bahwa kebijakan impor merupakan salah satu cara yang tepat untuk menstabilkan harga dan juga kebijakan tersebut merupakan keputusan pemerintah pusat (suratkabar.id12/8/2017). Pernyataan ini sungguh membuat miris, karna nyatanya dilapangan tetap saja banyak pihak yang dirugikan dalam hal ini adalah ribuan petani garam lokal.
Hal ini menunjukkan, pemerintah tidak serius dalam membuat program swasembada garam. Kebijakan impor yang diambil adalah bukti betapa pragmatisnya pola pikir pemerintah, padahal anomali cuaca selalu terjadi disetiap tahunnya. Seharusnya itu menjadikan pemerintah lebih berpengalaman untuk mengantisipasinya dengan memadai.
Tak lama dari berita kelangkaan garam beberapa minggu lalu, seorang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surabaya, Zainal Abidin telah berhasil menemukan alat pengelolah air laut menjadi garam yang dinamakan Pelita. Hal ini tentu ibarat lampu hijau bagi pemerintah, supaya bisa memanfaatkan teknologi anak negri sendiri dalam rangka mensukseskan swasembada garam. Bisa dengan pendanaan untuk mengembangkan teknologi tersebut.
Bukan dengan mengandalkan impor saja. Imporpun dilakukan tanpa menimbang kerugian. Serta kita ketahui pula, dari kebijakan impor itu maka pihak yang paling diuntungkan adalah BUMN pengimpor garam karena mendapatkan harga garam yang sangat miring. Hal ini seolah-olah memposisikan para petani garam lokal sebagai lawan bisnis dari BUMN negaranya sendiri. Ini merupakan ciri khas suatu negara yang menganut sistem perekonomian Kapitalisme. Dari siklus ini menjadi tak heran kedepannya akan nampak yang kaya makin kaya, dan yang miskin makin miskin.
Kegagapan pemerintah dalam menghadapi kelangkaan garam telah menunjukkan bahwa pemerintah tidak hadir secara nyata dalam memelihara rakyat. Padahal semestinya pemerintah berposisi sebagai penjaga, pemberi pelayanan yang utuh pada semua sendi kehidupan rakyatnya.
Kejadian ini jelas tak seperti yang Rasulullah sampaikan dalam sebuah hadits, “Bahwasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung.” [HR. Muslim]. Wallahua'lam bish shawab. [syahid/voa-islam.com]