Oleh: Siti Aminah. S. Pd. I. (Pengajar Tinggal di Ngawi)
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra, mengungkapkan kekecewaannya kepada Aung San Suu Kyi. Pemimpin paling berpengaruh di Myanmar saat ini, dinilai tidak mengambil sikap pro aktif dalam menghentikan kekejaman militer Myanmar dan kelompok-kelompok agama di sana terhadap Muslim Rohingya.
“Keterlibatan militer Myanmar dalam pembantaian masyarakat Muslim Rohingya adalah kejahatan kemanusiaan atau crime against humanity yang wajib dihukum oleh dunia internasional,” kata Yusril dalam keterangan tertulisnya, Jumat (1/9) malam.
Ada banyak kepentingan sejumlah Negara-negara besar di Myanmar yang diwakili Korporasi dunia disana, keamanan investasi. Utamanya Inggris, Amerika, China, Korea Selatan, Uni Eropa dan sejumlah Negara Teluk.
Oktober 2015, dari dokumen yang bocor di Inggris – “International State Crime Initiative (ISCI) di Queen Mary University di London menyimpulkan bahwa Rohingya yang menduduki wilayah Rakhine State menghadapi ancaman proses genosida tahap akhir. Dokumen yang dimiliki pemerintah Inggris bersumber dari intelijen di Myanmar, memperlihatkan rencana yang menyangkut “pembersihan secara masal yang telah disiapkan oleh Pemerintah Myanmar Tingkatan Tertinggi. Diungkapkan oleh jurnalis Nafeez Ahmad PhD, spesialis “Investigative Report dari The Sydney Morning Herald dan The Age, media dunia di Australia. Dimuat juga di Majalah The Echologist dan Harian lokal di Timur Tengah.
Laporan tersebut meliputi rencana “perkosaan, pembantaian oleh masyarakat, penahanan atas kasus hukum, penyerobotan tanah, pembakaran rumah, isolasi oleh Pemerintahan, menyudutkan Rohingya Muslim dengan sentimen keagamaan (pemeluk Budha vs Muslim), pembakaran, menghabisinya atau mengusirnya. Dimulai dari
Itu semua, salah satunya (selain sentimen perbedaan agama) karena wilayah Rakhine dan Sanghan menyimpan, merujuk laporan Departemen Perdagangan dan Investasi Inggris (UKTI), kandungan minyak senilai 3,2 juta barel dan cadangan LNG yang sangat besar – yang diketahui juga oleh KORPORASI Dunia dibidang Energi (Inggris, Amerika, UE, China, Korea Selatan dan sejumlah perusahaan energi Negara Teluk).
Penduduk disana harus pergi, karena akan digunakan sebagai jalur pipa minyak, industri energi dan “Deep Sea Port” akses ke Lautan Hindia.
Contoh saja, “parallel gas pipeline” sejak tahun 2014 telah mengalirkan 4 milyar meter kubik metana dari Myanmar dan Qatar ke China dari pelabuhan Kyaukpyu di Rakhine State (lokasi penduduk Rohingya).
Era Barack Obama, Aung San Suu Kyi dipilih sebagai “proxy”, dibina dan didukung oleh Uni Eropa dan Amerika untuk melawan rezim militer dan membendung pengaruh Komunis China, mengamankan asset sejumlah Korporasi, reformasi ekonomi dan politik serta “proses demokratisasi” yang mengarah pada manfaat ekonomi, sejak tahun 201
Jadi selain karena kebencian faktor agama, juga demi harta karun yg tersimpan diwilayah rakhine, pengusiran dan genosida pun dilakukan.
Untuk mengamankan investasi, wilayah tersebut harus stabil dan aman. Lahan harus dibebaskan.
China dan Myanmar memiliki kesamaan pandangan untuk bersikap lebih keras terhadap Rohingya Muslim, menjalankan rencana yang telah ada (The Ecologist). Pipa besar dan panjang yang akan mengalirkan minyak dan LNG ke China dibawah BUMN eneriy China (CNPC).
Membangun “deep sea port” di Kyaupyu, di pelabuhan Rakhine wilayah Rohingya yang memberi akses ke Lautan Hindia, senilai, 7.3 milyar dolar – serupa dengan Deep Sea Port yang akan dibangun di Meikarta. Termasuk pembangunan “wilayah Industri” – mengikuti proyek Global China – “One Belt, One Road”. Total senilai 1 T dolar bagi pembangunan Myanmar (TNYT).
Progran “ethnic cleansing” dijalankan makin massif untuk mengusir penduduk Rohingya. Penduduk Rohingya dengan berbagai cara terusir, mengungsi, dihabisi dan sebagian melawan dengan senjata seadanya.
Media Barat dan Myanmar menyebutnya beragam bagi perlawanan Rohingya, milisi, pemberontak, Bengali Radikal dan Inggris menyebutnya “teroris”. Mereka menyerang Polisi untuk diambil senjatanya.
Menurut Nafeez Ahmad, pembersihan etnik akan berlangsung terus. Konflik bukanlah suatu kebetulan, tetapi “by design”.
Aung San Suu Kyi, seorang wanita (de facto leader), ternyata tidak mencerminkan sebagai Pemenang Noble, tetapi ia seorang politisi yang sangat mungkin terkooptasi atau dibawah pengaruh para Jendral lama yang masih berkuasa di Myanmar dan kini dekat dengan China. (CNNIndonesia 1/9).
“China and Myanmar have also found common cause in their hard line on Muslims” (The New York Times).
"China dan Myanmar juga menemukan penyebab umum dalam garis keras (radikal) mereka terhadap umat Islam"
Umat Islam dengan jumlah sekitar 1,6 Milyar tidak bisa menyelamatkan saudaranya menunjukkan lemahnya umat islam. Ini akibat dari sekat Nasionalisme.
Kecaman terhadap pemerintah myanmar, pemutusan hubungan diplomatik, penyeretan ke Mahkamah Internasional ataupun yang lainnya tidak diperlukan oleh muslim Rohingnya. Yang butuhkan ini adalah pemimpin yang bisa membebaskan mereka dari tragedi ini, yaitu khilafah 'ala minhajin nubuwwah. [syahid/voa-islam.com]