Oleh: Drg. Eka (Praktisi Kesehatan)
Beberapa waktu yang lalu, publik sempat disentakkan dengan kasus meninggalnya bayi berusia 4 bulan yang bernama Tiara Debora. Pada hari Minggu (03/09), Debora dibawa ke IGD sebuah RS swasta di Jakarta karena keluhan sesak nafas. Debora pun langsung mendapatkan pelayanan medis dengan penyedotan lendir hingga diberikan pengencer dahak, namun nyawanya akhirnya tak tertolong.
Selepas meninggalnya bayi Debora, beredar opini yang saling bertolak-belakang. Menurut ibu dari bayi Debora, Debora meninggal karena pihak RS menolak untuk memasukkan Debora ke PICU (Pediatric Intensive Care Unit) RS tersebut karena pembayaran uang muka yang kurang. Sedangkan pihak RS mengklaim bahwa justru sang ibu yang menolak bayinya dimasukkan ke PICU karena alasan keuangan. (www. Bbc.com).
Penelusuran terhadap kasus ini kemudian dilakukan oleh Tim Kemenkes, Badan Pengawas RS, Perhimpunan RS selurus Indonesia serta Dinkes DKI Jakarta. Dari penelusuran yang dilakukan, untuk sementara tim memberikan lima rekomendasi awal. Pertama, akan dibentuk tim untuk mengaudit lebih dalam kepada RS dan keluarga Debora, kedua Direktur RS akan membuat surat pernyataan yang isinya memberikan pelayanan yang aman, bermutu, anti diskriminasi dan efektif, ketiga RS menyatakan bersedia melaksanakan fungsi sosial tanpa mengambil uang muka, keempat melaksanakan sistem rujukan dengan benar, dan kelima adalah meminta RS mematuhi aturan yang berlaku untuk standart pelayanan di RS (www. Kompas.com).
Apabila dicermati, kasus semacam meninggalnya bayi Debora ini bukanlah kasus yang pertama. Banyak muncul kasus dalam bidang kesehatan di negeri ini yang disebabkan karena masalah biaya, administrasi maupun dari sistemnya yang tidak mendukung.
Mengutip data dari KPAI, dari 22. 957 pengaduan sepanjang tahun 2011 hingga 2016, sejumlah 526 diantaranya berupa kasus anak korban pelayanan kesehatan. (www. Metrotvnews.com)
Jaminan Kesehatan Dalam Islam
Dalam Islam, kesehatan adalah tanggungan dari Negara yang harus diwujudkan secara optimal. Negara berperan sebagai pengelola pelayanan kesehatan yang berkualitas kepada warganya. Negara akan menghilangkan potensi kemudhorotan (seperti mahalnya obat, krisis tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan, celah tindakan dokter yang membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa pasien). Negara tidak boleh berperan sebagai regulator dan fasilitator dengan alasan apapun.
Demikian pula untuk anggaran yang disediakan untuk sistem kesehatan, Negara akan menjamin pembiayaan untuk pengadaan RS/fasilitas pelayanan kesehatan, pendidikan calon dokter dan meningkatkan kemampuan para dokter, lembaga research, laboratorium, industri farmasi, air bersih,listrik dll. Tidak dibenarkan pembiayaan kesehatan dibebankan kepada masyarakat sepeser pun. Prinsip yang bertentangan dengan Islam pun tidak akan diadopsi dan dijalankan oleh Negara dalam menyelenggarakan sistem kesehatan (misal penyelenggaraan asuransi kesehatan).
Sebagaimana pernah dicontohkan Rasulullah saw yang menerima hadiah seorang dokter, namun kemudian dokter tersebut beliau tugaskan untuk melayani kaum muslimin. Kemudian dilanjutkan pada masa para Khalifah, berkembang RS kelas satu dan dokter – dokter di beberapa kota (Baghdad, Damaskus, Kairo, Alexandria, Cordova, Yerusalem, Samarkand dan lainnya). Kota Baghdad bahkan saat itu memiliki 60 RS dengan lebih dari 1000 dokter. Kemudian masa Khalifah al – Muqtadir Billah yang memerintahkan setiap unit apotik dan klinik berjalan harus mengunjungi setiap desa dan tetap disana selama beberapa hari sebelum pindah ke desa lainnya.
Inilah bentuk pelayanan jaminan kesehatan didalam Islam. Dimana pemimpin akan menjalankan amanahnya untuk mengurusi rakyat. Sebagaimana dalam hadist ”Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanyadialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).
Ketundukan pemimpin terhadap aturan dari Allah swt inilah yang mendasari terwujudnya sebuah sistem kehidupan yang manusiawi dan rahmatan lil ‘alamin. [syahid/voa-islam.com]