ISU kebhinnekaan belum tuntas diperbincangkan. Bagaimana dengan nasib budaya, suku-suku, berbagai etnis dan agama bila negeri ini menggunakan syariat Islam kaffah? Bahkan gaungan kebhinnekaan ini seakan tak peduli bhinneka (beraneka ragam) itu untuk benar atau untuk salah, tak peduli bhinneka itu untuk menang atau untuk kalah. Terus menggaungkan kebhinnekaan sampai tidak awas bahwa penjajahan telah menguasai kembali dan kebhinnekaan justru dipakai untuk memapankan penjajahan.
Ujung-ujungnya prinsip Bhineka Tunggal Ika ini dimanfaatkan untuk mendukung prinsip liberalisme dan sekulerisme. Misalnya menuntut penutupan bar Miras, menolak identitas kota santri berubah menjadi kota budaya karena berdampak pada aspek kebebasan yang lebih tinggi, menolak pemimpin kafir, LGBT dikatakan anti kebhinnekaan, sebaliknya larangan jilbab atau larangan shalat Jumat saat Perayaan Hari Nyepi di Bali, larangan pendirian masjid di sejumlah daerah di Papua dan sebagainya, tak terdengar seruan kebhinekaan itu. Lebih–lebih saat ini dengan adanya Perppu Ormas bukankah ini merupakan anti kebhinnekaan?
Tidak sedikit umat yang terkesan begitu khawatir dengan keberadaan dan kelangsungan budaya-budaya, berbagai etnis, ras atau suku apabila diterapkan syariat Islam kaffah. Bahkan umat Islam sendiri amat memikirkan nasib pemeluk agama lain jika diatur dengan Islam. Mereka lupa bahwa sistem Islam ini sesungguhnya pernah mengelola keberagaman manusia selama lebih dari seribu tahun. Islam memiliki dua kekuatan yaitu tsaqofahnya yang memberikan berbagai solusi pada banyak masalah, serta tata politiknya yang memang bisa menyatukan dan membawa banyak bangsa menuju kejayaan. Justru ketika rakyat terbebas dari banyak prinsip agama, mereka akan cenderung mudah terjatuh ke dalam eksploitasi.
Kebhinekaan atau keragaman ras, suku, bangsa, bahasa dan agama di tengah masyarakat bukanlah perkara aneh dalam pandangan Islam. Ini adalah sebuah kenyataan masyarakat yang wajar sebagai hasil dari proses-proses sosiologis, biologis dan historis yang telah berjalan selama ini. Secara biologis, Allah Ta'ala memang menciptakan manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa dengan warna kulit, bentuk muka dan rambut serta bahasa yang berbeda-beda. Secara sosiologis, karena manusia bebas memilih, wajar bila manusia mempunyai keyakinan atau agama yang berbeda-beda. Jadi, ragam agama, sebagaimana juga ragam ras, suku, bangsa dan bahasa adalah kenyataan yang sangat manusiawi. Karena itu, semua harus diterima sebagai sebuah kenyataan masyarakat.
Syariat dan Kebhinekaan
Islam menjaga dan mengatur kebhinekaan melalui penerapan syariah. Dalam soal keragaman agama, misalnya, Islam memberikan kebebasan kepada manusia mau beriman atau tidak, mau masuk Islam atau tidak. Karena itu dalam masyarakat Islam sekalipun, keragaman beragama tetap dimungkinkan. Islam juga melarang membunuh atau melukai manusia siapapun tanpa alasan yang benar, apalagi sekadar karena alasan beda suku, ras atau agama. Di dalam Al-Qur’an, Allah menyatakan, ”Wahai manusia, sungguh Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal.” (QS. al-Hujurat [49]: 13).
Orang boleh melakukan aktivitas apa saja, berpakaian, menikah atau bergaul dengan orang yang disukai asal tidak boleh bertentangan dengan syariah. Dipersilakan memilih model dan warna pakaian yang disukai asalkan auratnya tertutup. Dibolehkan menikah dengan yang dicintai asal berlainan jenis dan lelaki Muslim untuk perempuan Muslim.
Orang boleh dengan bebas mendapatkan, menggunakan dan mengembangkan hartanya sesuai jalan yang dihalalkan oleh syariah. Dilarang melakukan kegiatan ekonomi yang bertentangan dengan syariah seperti menjual-belikan daging babi dan minuman keras, berjudi dan bertransaksi ribawi dan sebagainya.
Tidak boleh dengan alasan kebhinekaan lantas orang menggunakan harta miliknya sesuai kehendaknya.Dengan aturan ini tidak mungkin ada, seperti yang terjadi di Barat, orang meninggal memberikan seluruh hartanya kepada kucing kesayangannya. Diperbolehkan juga untuk membentuk organisasi atau kelompok asal berdasar Islam dan untuk tujuan kebaikan. Mengkritik penguasa bukan hanya boleh bahkan disebut sebagai bagian dari kewajiban dakwah setiap warga negara. Dengan itu kebaikan akan tegak. Di sinilah keragaman yang positif konstruktif akan terwujud. **
Ayu Fitria Hasanah
Mahasiswa FKIP