Oleh: Firdaus Bayu (Pusat Kajian Multidimensi)
Entah sampai kapan, Indonesia terus terkepung kepentingan, dihimpit beban budi pada pemodal atas kemenangan para jagoan, yang dipilih langsung oleh rakyat lalu pikun soal bilik-bilik kemenangannya. Nyaris wakil rakyat sejak dulu tak pernah benar-benar berpihak kepada rakyat. Wajar jika Iwan Fals pernah mengirim surat buat wakil rakyat di masa idealisnya dahulu.
Terus terang, terlalu sulit untuk disebut merakyat, ketika mereka nekat menaikkan harga BBM di saat 86,1% rakyat menolaknya. Aneh kalau ingin disebut memihak rakyat, saat kontrak PT. Freeport diperpanjang di tengah tuntutan masa atas penghentiannya. Rasanya mustahil untuk dianggap pro rakyat, jika tugas mengadili tersangka penistaan agama saja harus menunggu demonstrasi besar dari rakyatnya.
Janggal sekali untuk dibilang mewakili rakyat, kalau wakil-wakil rakyat itu justru berterus terang mendukung perppu ormas setelah terbukti perppu itu menyakiti rakyat dan ditolak dimana-mana.
Sampai hari ini, gerakan-gerakan mahasiswa, kaum intelektual, ulama, dan banyak lagi elemen masyarakat lainnya secara jelas menyatakan kerisihannya terhadap perppu ormas. Ada yang menggalang petisi, ada juga yang menggelar diskusi, hingga mobilisasi masa untuk aksi-aksi. Logika mereka ternyata sederhana, bahwa perppu ormas adalah jalan penguasa menjadi diktator, dan tentu saja model kepemimpinan seperti itu tidak baik untuk masa depan bangsa dan negara.
Pandangan itu bukan mengada-ada, sebab selain secara teoritis karakter kediktatoran tersebut memang tertera dalam teks perppu, secara praktis pun sudah terbukti. Sebut saja HTI, yang menjadi korban pertama kesewenangan pemerintah. HTI bubar tanpa diadili. Jangankan diadili, diberi surat peringatan saja belum, demikian kurang lebih kata jubirnya, Ismail Yusanto. Lebih aneh lagi, masih kata sang jubir, bahwa pembubaran ormasnya terjadi sekitar 10 hari setelah diterbitkannya perppu, sungguh tidak logis untuk bisa dibilang terjadi kegentingan yang memaksa.
Padahal, HTI bukanlah ormas yang anti pancasila sebagaimana yang pemerintah tuduhkan. Ingat, HTI baru korban pertama. Tak ada jaminan ormas lainnya tak bernasib sama.
Jika memang kediktatoran itu benar-benar mulai tumbuh, maka lumrah apabila rakyat memprotesnya. Sayangnya, suara protes rakyat belum sepenuhnya ditampung wakil rakyat. Ketika aksi 299 berlangsung, terdapat empat partai yang mengaku turut menolak perppu ormas tersebut, sementara sisanya berpendirian sebagai pendukung.
Pendirian itu bisa sewaktu-waktu berubah. Tentu rakyat berharap perubahan yang memihaknya. Entah apa yang mereka takutkan untuk menerima aspirasi rakyat dan memihaknya. Mungkin mereka lupa, bahwa dahulu mereka naik kursi lantaran rakyat mengantarkannya. Tapi kini, setelah rakyat tahu mereka dikhianati, jangan salahkan rakyat kalau partai-partai itu akan mereka tinggalkan pada pemilihan berikutnya. Itu konsekuensi logis.
Duhai wakil rakyat, jadilah orang yang berprinsip, yang tak goyah oleh tawaran, dan tak latah dengan jabatan. Tujuan berpartai adalah memperjuangkan keadilan rakyat, bukan malah membohongi mereka. Semoga lekas sadar. [syahid/voa-islam.com]