Oleh: Asti Marlanti, S.Pt
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan ( Perppu Ormas) menjadi undang-undang melalui rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/10/2017).
Fraksi yang pro dan kontra terhadap penerbitan Perppu Ormas tidak dapat mencapai kata sepakat meski proses lobi dilakukan selama dua jam. Rapat paripurna pun menetapkan mekanisme voting dalam mengesahkan UU Ormas yang baru. Voting dilakukan per fraksi, bukan perorangan seperti yang diatur tata tertib DPR.
Berdasarkan penghitungan, dari total 445 anggota DPR yang hadir dalam rapat itu, 314 di antaranya setuju pengesahan Perppu, sementara 131 lainnya menolak, seperti dilaporkan wartawan BBC Indonesia, Abraham Utama. Ini artinya mayoritas Parpol di DPR, setuju Perppu ormas menjadi UU.
Jika kita teliti dan cermati, secara empiris, Perppu ini menjadikan Pemerintah satu-satunya pihak yang menentukan satu ormas layak dibubarkan tanpa melalui proses peradilan seperti diatur dalam UU 17/2013 tentang Ormas yang dianulirnya. Bahkan perppu ini menghapus badan peradilan sebagai pihak yang berwenang menilai suatu ormas bertentangan dengan Pancasila atau tidak. Dengan kata lain, perppu ini telah membunuh asas negara hukum di negeri ini.
Secara ideologis, Perppu tersebut melenyapkan kekuatan Islam satu per satu. "Perppu Nomor 2 Tahun 2017 jelas sebagai pisau politik untuk melenyapkan kekuatan Islam satu demi satu. Yang ditusuk dengan pisau itu HTI. Saya imbau kepada ulama pemimpin tokoh Islam yang keblinger, mereka harus sadar," ujar Amien dalam orasinya di depan gedung DPR (24/10/2017)
Secara politis, perppu dijadikan alat untuk membungkam lawan politik untuk sampai pada tangga politik tertinggi, yaitu kekuasaan. Hal ini sangat terlihat dengan adanya pembubaran HTI sebagai korban pertama Perppu menunjukan bahwa rezim berupaya melenyapkan kekuatan Islam. Sekaligus membungkam kritisme masyarakat yang diungkap HTI. Kenapa HTI? Karena selama ini, HTI selalu menyuarakan perasaan rakyat terhadap kebijakan zhalim penguasa. Mereka takut, jika rakyat dan ormas kritis, maka mereka akan sulit mendapatkan kekuasaan.
Namun hal ini tidak mereka sadari, keberadaan perppu ormas yang mengesampingkan hukum, akan menjadikan rezim semakin diktator. Saat rezim Semakin menyimpang dan semakin diktator, maka umurnya pun akan semakin pendek.
Berkaca pada sejarah, rezim2 diktator yang otoriter, tidak disukai rakyat. Rezim harus hidup dengan tangan besi untuk membungkam rakyat. Namun semakin dibungkam, perlawanan rakyat kian meningkat. Revolusi bisa pecah dalam waktu singkat. Maka, kezhaliman dan kediktatoran rezim penguasa adalah bunuh diri politik. Mereka tidak disukai rakyat, dan pasti akan tumbang.
Demikian pun dengan parpol-parpol pendukung dan penjilat rezim diktator. Suara mereka bertentangan dengan konstituennya. Maka, cepat atau lambat, parpol-patpol ini akan ditinggalkan rakyat pemilihnya. Inilah bunuh diri politik parpol.
Jika semua diktator dan partainya tumbang, maka yang tersisa adalah parpol dan orang-orang yang selalu menyuarakan hati rakyat. Parpol dan orang yang mendidik rakyat dengan dakwah politik yang benar. Parpol dan orang yang mengurus serta memperhatikan urusan rakyat.
Parpol yang mampu memberikan solusi atas problem bangsa. Parpol itu adalah partai politik ideologis, dengan aqidah Islam sebagai landasan, syariah Islam sebagai aturan, dan dakwah Islam sebagai aktivitas dan poros hidup. Wallaahu a'lam bishshawaab. [syahid/voa-islam.com]