View Full Version
Selasa, 31 Oct 2017

Deklarasi Kebangsaan Melawan Radikalisme, Benarkah Solusi?

Oleh:

Ayu Fitria Hasanah (Mahasiswa FKIP/UNEJ)

MAHASISWA, terpandang mulia dalam kedudukannya di masyarakat. Pemuda yang ditunggu-tunggu kontribusinya untuk perubahan bangsa, kekritisannya menjadi pelopor kekuatan membasmi segala ketidakadilan yang terjadi pada rakyat. Idealismenya menjadikan dirinya orang-orang pertama dalam menyadari masalah yang ada. Integritasnya  juga menjadi penggeraknya dalam berfikir dan mencari solusi. Itulah jati diri mahasiswa. Agen perubahan, bukan objek perubahan. Menyelesaikan masalah, bukan pembuat masalah.

Bagai pungguk merindukan bulan, realita mahasiswa saat ini justru menjadi beban bagi negeri. Ribuan intelektual lulus dari perguruan tinggi setiap tahunnya, namun tak memberi pengaruh dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian bangsa. Terbukti kebutuhan pangan yang terus bergantung pada negara lain, harga bahan-bahan pangan yang jauh dari kata ekonomis. Hal ini tidak berbanding lurus dengan kemajuan riset dan teknologi yang ada di perguruan tinggi serta pemanfaatan potensi sumber daya alam yang tersedia.

Begitupun pada aspek kesehatan, pesatnya kemajuan riset kesehatan dan farmasi tak sejalan dengan mudahnya bagi masyarakat memperoleh jasa dokter, peralatan medis dan obat-obatan. Dari sisi budaya dan pergaulan mahasiswa jaman now (jaman sekarang) pun tak kalah mencengangkan, budaya materialistis dan hedonis telah menjadi identitas umum mahasiswa. Belajar dan bekerja untuk uang, hidup untuk mencari kesenangan berhasil mematikan kepekaan dan kepeduliannya sebagai mahasiswa dan pemuda (problem solver). Tak kalah memprihatinkan, budaya seks bebas, mahasiswa isap ganja, miras, hingga komunitas gay  menjadi fakta kedaerahan yang dapat kita temui dengan mudah. Sungguh merupakan masalah besar yang akan menjadi mala petaka bila tak serius ditangani.

Ironisnya, bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda yaitu 28 Oktober 2017, pimpinan perguruan tinggi dan mahasiswa di seluruh Indonesia menggelar Aksi Kebangsaan Perguruan Tinggi Melawan Radikalisme secara serentak di seluruh Indonesia. Sebagaimana salah satu rekomendasi yang dihasilkan oleh Presiden Jokowi pada pertemuan Pimpinan Perguruan Tinggi Se-Indonesia tanggal 25-26 September 2016 di Bali, diungkapkan deklarasi tersebut sebagai langkah mempertegas sikap perguruan tinggi se-Indonesia bersama civitas akademika di masing-masing kampus untuk melawan radikalisme dan intoleransi (tribunnews.com).

Mirisnya radikalisme yang dimaksud adalah syariah Islam yang dipelajari atau dikaji serta diamalkan secara mengakar, mendasar dan berprinsip atau sesuai Islam secara murni. Radikalisme atau paham syariah Islam secara kaffah dianggap sebuah bahaya besar sebab mengancam keragaman yang ada di Indonesia, padahal syariah Islam didesain sebagai rahmat bagi seluruh alam. Selain itu, dalam Al-Qur’an pun Allah jelas menyatakan mengenai keragaman yang hakikinya wajar ada, seperti berikut, ”Wahai manusia, sungguh Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal.” (TQS. al-Hujurat [49]: 13).

Jika Islam secara kaffah ini diterapkan, sebenarnya tidak akan mendiskreditkan agama-agama lain, sebab pada urusan dimensi spiritual, urusan makanan, pakaian, tata cara pernikahan dan sebagainya, pemeluk agama lain tetap diberi kebabasan untuk menjalaninya. Hanya saja pada masalah muamalah, seperti sistem ekonomi, sistem hukum, sistem politik dan lain-lain menggunakan Islam. Bukankah dalam agama lain hal semacam ini memang tidak ada aturannya?

 

 

Mahasiswa Diserang Sekulerisme

Lantas tepatkah bila dikatakan Islam dengan paham radikal ini memaksa? Mengenai perkara paksa, tidakkah sistem ekonomi kapitalisme saat ini juga memaksa? Selain sejarah yang telah nyata membuktikan bahwa Islam memberikan kesejahteran baik bagi kaum muslim maupun non muslim, penerapan syariah Islam secara kaffah ini adalah perintah Allah yang wajib hukumnya untuk dilaksanakan terutama bagi uamt Islam.

Oleh sebab itu, upaya perbaikan dan solutif yang dilakukan oleh pemerintah dan para pimpinan Perguruan Tinggi se-Indonesia melalui deklarasi kebangsaan tersebut sungguh tidak berkorelasi dengan realita masalah-masalah yang ada dan ancaman yang sebenarnya. Faktanya permasalahan yang menyerang mahasiswa dan perguruan tinggi bukanlah radikalisme, melainkan sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) serta budaya-budaya barat yang bathil. Mungkinkah orang yang berpegang teguh secara mengakar pada syariat Allah itu akan menambah kerusakan moral yang terjadi? Bukankah segala aktivitas yang tidak berdasar pada agama yang justru menyebabkan kerusakan moral terjadi? Oleh karena itu, wawasan kebangsaan perlu diartikan dengan benar.

Bila wawasan kebangsaan berarti sebagai bentuk kepedulian dan pembelaan terhadap negara, menjaga negara dari kerusakan moral yang semakin marak terjadi, maka mahasiswa memang harus mengambil peran terdepan. Sayangnya wawasan kebangsaan yang dimaksud adalah ketundukan pada sekulerisme dan upaya penghilangan pemahaman Islam secara murni. Berdasarkan hal itu, deklarasi kebangsaan ini sejatinya salah arah, sebab pada hakikatnya bukan radikalisme yang menjadi ancaman kesejahteraan negeri ini, melainkan sekulerisme itu sendiri. *


latestnews

View Full Version