Oleh: Fikriyah Kamil (Mahasiswi Unej)
Perang Istilah Radikal
Ribuan mahasiswa telah mengikuti upacara sumpah pemuda serta ikrar deklarasi kebangsaan yang serentak diselenggarakan pada tanggal 28 Oktober 2017 di berbagai kota di indonesia. Tiga di antaranya terselenggara di Yogyakarta yang tepatnya di Stadion Mandala Krida Yogyakarta, Sabtu (28/10/2017) sore (YOGYA, KRJOGJA.com), di Kalsel upacara diselenggarakan di lapangan Kayutangi, Jalan Brigjend Hasan Basri, Banjarmasin, Sabtu (28/10/2017) (Banjarmasinpost.co.id) dan di NTT upacara dilakukan di lapangan Mapolda NTT (Antaranews.com).
Kegiatan tersebut pertama kali diadakan setelah bertahun-tahun lamanya tak pernah ada kegiatan yang semisal. Tujuan diselenggarakannya acara tersebut adalah untuk menghimbau mahasiswa agar awas terhadap apa yang terjadi di negeri ini, utamanya terkait Radikalisme.
Jauh-jauh hari sebelum upacara hari peringatan sumpah pemuda ini diselenggarakan, Presiden Jokowi dikabarkan telah mengumpulkan ribuan rektor untuk membahas tentang radikalisme ini, yang kemudian ditindaklanjuti dengan aksi deklarasi kebangsaan melawan radikalisme di Nusa Dua, Badung, Selasa (26/9/2017) yang dikabarkan dihadiri oleh tiga ribu rektor (www.okeone.com). Dalam acara tersebut para rektor diwanti-wanti agar jangan sampai kampus-kampus menjadi lahan penyebaran ideologi anti pancasila, anti NKRI, anti-Bhineka Tunggal Ika. Jokowi khawatir kampus menjadi mediasi ideologi-ideologi radikal.
Memantik kesadaran mahasiswa yang notabenenya adalah pemuda beserta seluruh civitas akademik untuk awas dengan apa yang terjadi di negeri ini adalah baik. Tetapi jika sekedar untuk membuat awas terhadap radikalisme yang biasanya merujuk pada Islam, tampaknya menjadi tidak fair dan tidak jujur. Menuding radikal pada kelompok tertentu yang faktanya juga beranggotakan banyak anak bangsa adalah tindakan yang kurang bijak.
Lagipula selama ini radikalisme yang seringnya ditujukan kepada Islam meski tak secara terang-terangan ini tak nampak wujud bahayanya, ia hanya berupa ide syar’i tentang pengaturan seluruh aspek kehidupan yang ditolak dan ditentang karena dianggap berpotensi memecah kesatuan NKRI.
Di samping kekhawatiran yang tidak jelas atas radikalisme ini, negeri ini faktanya sedang menghadapi berbagai masalah besar yang nyata di depan mata. Inilah masalah-masalah yang diakibatkan oleh penjajahan gaya baru (neocolonialisme) yang dilancarkan oleh asing, yang tidak disadari keberadaannya. Padahal, penjajahan gaya baru ini sudah meliputi segala sendi kehidupan, di sendi perekonomian terbukti sebagian besar kekayaan sumber daya alam kita telah dikuasai asing.
Utang negeri meroket, direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan melansir, utang pemerintah pusat sampai dengan bulan Juli 2017 Rp3.779,98 triliun. Jumlah tersebut naik Rp73,46 triliun, dari posisi Juni 2017 sebesar Rp3.706,52 triliun (CNN Indonesia).
Kasus korupsi tak kunjung teratasi, dalam catatan ICW (Indonesian Corruption World), ada 315 perkara tindak pidana korupsi dengan 348 terdakwa di awal semester pertama tahun 2017 (news.detik.com). Indonesia terkategori sebagai negara dengan tingkat suap paling tinggi setelah India (69%) dan Vietnam (65%), selevel dengan Pakistan, Thailand, Kamboja dengan indeks suap di angka 31-40 persen. Masuknya Indonesia di kategori tersebut menjadi kabar buruk terhadap upaya pemberantasan korupsi yang telah digaungkan di negeri ini (Kumparan.com)
Di sendi sosial dan budaya, racun liberalisme menjalar dan menimbulkan berbagai permasalahan di kalangan generasi muda, seperti pergaulan bebas, masalah narkoba dan miras, dan tawuran, yang membuat bonus demografi Indonesia tampak tak menimbulkan dampak positif bagi perbaikan negeri ini, karena memang secara sistemik fungsinya dilumpuhkan agar penjajahan atas negeri ini tetap berlanjut.
Miris sekali, momok istilah ‘radikalisme’ rupanya lebih memiliki perhatian khusus bagi pemerintah. Bahkan telah disahkan Perppu Ormas Nomor 2 tahun 2017 yang dirancang khusus untuk menghapuskan ormas-ormas yang terindikasi radikal karena berani mengkritisi kebijakan dzalim penguasa. Naasnya, isu radikal ini cukup ampuh mengaburkan pandangan rakyat untuk melihat fakta permasalahan sesungguhnya yang menimpa bangsa ini, dan mampu membuat rakyat terlingkupi rasa kecemasan yang sangat atas radikalisme ini, gagal menyadari apa yang sebenarnya terjadi pada bangsa ini.
Padahal, secara bahasa istilah ‘radikalisme’ ini bersifat netral yang artinya bisa disandingkan dengan berbagai macam paham, termasuk paham sekulerisme-kapitalisme yang nyatanya radikal di negeri ini. Memiliki sikap radikal terhadap suatu pemikiran sebenarnya tak hanya dimiliki oleh segolongan orang saja, bahkan suatu bangsa bisa saja radikal terhadap sebuah paham. Menyerukan anti radikal, secara wajar memunculkan pertanyaan ‘radikal terhadap apa?’
Melihat pola kehidupan di Indonesia yang saat ini kapitalis dan kita terbuka menyambutnya untuk bersanding dengan ideologi pancasila, memunculkan kesan bahwa kita menerimanya meskipun juga tidak secara terang-terangan sebagai paham yang sejalan dengan pancasila, di sisi lain kita menolak ideologi Islam Kaffah dan menganggapnya bertentangan dengan Pancasila.
Gagal mendefinisikan kata radikal dan menganggapnya berbahaya saat disandingkan dengan Islam dapat berakibat fatal bagi bangsa negeri muslim ini, bangsa yang mengaku mengimani rukun iman tetapi nyatanya mencederai iman itu sendiri dengan meragukan baiknya syariat Islam (yang tidak lain bersumber dari Al-Quran) bila diterapkan dalam kehidupan.
Ini juga membuat bangsa ini gagal melihat dan menyadari hegemoni asing yang nyata bahayanya bagi negeri ini, tak sadar bahwa saat ini negeri ini bukan hanya terpecah belah akibat radikalnya kapitalisme ini, bahkan juga tak sadar bahwa apapun yang kita miliki nyatanya tak benar kita miliki, kita tak sadar bahwa saat ini kita menjadi bawahan bos-bos yang memegang kekayaan alam kita. Sedangkan pandangan Islam atas keadaan ini adalah menyeru kita untuk mengusir para kapitalis penjajah tersebut.
Namun kepekaan kita telah mati menyadari bahaya, sehingga kita tak berkutik atas seruan Tuhan, bukan hanya tak berkutik, bahkan kita bereaksi seperti orang mabuk yang pada saudarapun tega menggebuk.