View Full Version
Senin, 11 Dec 2017

Narasi Intoleransi 212

MEMBACA psikologi kalangan kontra reuni 212, terbesit ketakutan akan terkoordinasinya kekuatan politik muslim Indonesia. Di mata pembenci, segala keajaiban dalam acara reuni hanya menuai stigmatisasi dan caci maki. Bukankah suatu prestasi bahwa orang Indonesia yang selama ini terkenal pemalas dan terbiasa dengan lingkungan kotor dapat menjalankan aksi dengan jutaan peserta tanpa menyisakan ceceran sampah?

Belum lagi julukan pasukan nasi bungkus. Tuduhan ini sangat menggelitik, mengingat para peserta reuni mengongkosi dirinya sendiri, bahkan tak sedikit yang juga menyediakan kebutuhan logistik bagi peserta lain.

Kecurigaan akan agenda persatuan umat menyeruak bertepatan dengan semakin dekatnya pilkada 2018 dan pilpres 2019. Padahal apa yang salah dengan intensi politik Muslim Indonesia? Apa yang ditakutkan dari bangkitnya kekuatan politik Muslim?

Sepanjang sejarah, tak ada penindasan apalagi genosida pada kaum minoritas saat Muslim berkuasa. Yang ada justru Muslim minoritas selalu jadi bulan-bulanan di penjuru dunia. Kasus Rohingya masih menyisakan duka atas intoleransi yang sungguh biadab. Maka sejatinya tuduhan intoleran pada Muslim mayoritas di Indonesia hanya skenario kosong yang ahistoris.

Sesungguhnya persatuan umat dalam reuni 212 ini melampaui agenda transaksional jangka pendek 2019. Peristiwa ini merupakan tonggak kebangkitan kesadaran umat akan panggilan kewajiban menerapkan Alquran yang telah dibelanya.

Reuni tahunan yang dicanangkan akan semakin mengokohkan wacana persatuan dan menjelma menjadi suatu aksi nyata penerapan ayat suci yang menjadi filosofi aksi bela Islam. Segera, Indonesia akan menorehkan tinta emas peradaban melalui penerapan hukum Ilahi yang menyejahterkana dan menaungi bukan hanya bagi Muslim melainkan juga bagi umat lain. Karena Islam adalah rahmatan lil alamin.*

Yuyun Novia
Anggota Komunitas Revowriter


latestnews

View Full Version