Oleh: Ashaima Va
Jum'at itu, sejarah menorehkan catatan tak biasa. Sholat jum'at berjamaah terbesar sepanjang sejarah pendirian negeri ini. Monas menjadi saksi bagi ukhuwah Islamiyah yang terajut dari jutaan kaum muslimin. Ragam warna, suku, mazhab, bahkan ragam jubah keormasan melebur masif dalam satu suara, "penjarakan si penista agama."
Pembela si penista, pontang-panting cari siasat menggagalkan rencana. Apapun caranya halangi yang lainnya untuk bisa hadir. Eh, bahkan sampai penyewaan bus disabotase. Namun Allah menghendaki ribuan hati lainnya tergerak hadir lewat langkah langkas muslim Ciamis. Kala itu kaum muslimin 'berarak tidak berlari', berbuat sebagaimana mestinya seorang muslim yang agamanya dinistakan.
Jum'at itu, spirit 212 menggelorakan persatuan yang selama ini dianggap mustahil. Tapi, atas ijin Allah, bahkan gemanya selalu bergemuruh di dada-dada mereka. Manisnya madu persatuan akan selalu terasa legitnya.
Perjuangan selalu beriringan dengan onak. Pasca 212 pukulan beruntun menghantam kaum muslimin. Ulama' ikhlas dikriminalisasi. Ormas dibubarpaksakan dengan Perppu. Lalu dengan senjata radikalisme dan intoleransi banyak persekusi yang dibiarkan. Pengajian yang dihadiri penduduk langit pun dengan jemawa dibubarkan.
Radikalisme dan intoleransi sesungguhnya tudingan untuk siapa? Pemecah belah bangsa? Siapa yang memecah belah, kalau ormas yang dibubarkan justru terdepan meneriakkan anti separatisme. Anti pancasila? Di bagian mana antinya, kalau ormas yang dibubarkan justru paling peduli pada kedaulatan negara terhadap pengelolaan kekayaan negeri. Jangan sumber energi dikelola asing, sedang anak negeri malah harus membayar mahal untuk mendapatkannya.
Sekali lagi yang menjadi soalan, tudingan radikalisme dan intoleransi untuk siapa? Ulama yang dituduh radikal dan Ormas yang dibubarkan hanya bermodalkan lisan, sedang yang bersenjata laras panjang, bahkan dengan lancang melakukan penyanderaan tak sekecap pun kata radikal tersemat pada mereka.
Maka tak salah, kan, jika simpulannya mereka yang lantang berteriak tumpas radikalisme dan intoleransi sedang berdelusi.
Jeri dan ngeri memikirkan negeri, salah urus negara rakyat yang dikhianati. Pejabat negeri adalah makhluk Allah, namun dengan jemawa mengabaikan syari'at Allah. Dengan bahasa investasi aset negara dijual. Dengan bahasa pemerataan, tarif listrik dinaikkan. Dengan bahasa orang bijak, rakyat dibebankan beragam pajak. Jujur, apapun bahasanya kami yang dibawah yang tercekik jeratnya. Begitu sulitnya mengantongi rupiah, sedang biaya hidup semakin merangkak naik.
Sebelas hilal berlalu, kerinduan akan manisnya madu persatuan mendapatkan pelepasannya. Reuni 212 pun terlaksana pekan lalu. mematri haru dalam barisan rapi jutaan kaum muslimin yang berarakan. Panji tauhid dibentangkan, diterbangkan, tersangkut pun beroleh pertolongan-Nya. Panji bertuliskan kalimah syahadah, semoga perjuangan kaum muslimin dinaungi Ridlo-Nya.
Yang nyinyir menyebutnya sebagai aksi genit menjaga eksistensi, tak bakal laku. Namun nyatanya kaum muslimin kembali dipersatukan. Sekali lagi meretas segala perbedaan, tak lagi sekadar eksistensi. Tak perlu bergenit-genit, karena sesiapa yang hadir hanya berharapnya jadi catatan amal di akhirat kelak.
Reuni 212, adalah oase di tengah gurun, tungku penghangat di tengah salju, kanopi meneduhkan di tengah hutan belantara, bahtera gagah di tengah samudera. Dengannya semoga menebalkan keyakinan akan persatuan beda ras, agama, dan suku, karena dalam naungan kekhilafahan segala perbedaan adalah niscaya. [syahid/voa-islam.com]