View Full Version
Rabu, 27 Dec 2017

Elpiji Melon Langka: Jeritan Rakyat Negeri Gemah Ripah Loh Jinawe

Oleh: Indah Shofiatin 

(Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya)

Gas elpiji 3 kilogram di berbagai daerah mengalami kelangkaan. Bahkan di Jakarta kelangkaan gas elpiji terjadi selama satu bulan (portal umat, 6 Desember 2017). Kelangkaan ini merambat ke berbagai daerah lain di Indonesia. Sebagai bentuk protes, emak-emak di Gorontalo dan Bogor sampai membuang gas melon elpiji mereka ke jalan, karena sudah tidak berguna lagi.

Meskipun kelangkaan ini menjadi permasalahan tidak kecil bagi rakyat bawah, Unit Manager Communication and Relations Pertamina Jawa Bagian Barat, Dian Hapsari Firasati justru menyampaikan bahwa persediaan gas elpiji yang menipis ini disebabkan tingginya permintaan saat libur panjang beberapa waktu lalu.

Bahkan menurutnya, banyak masyarakat yang memasak lebih banyak saat perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Ya, itulah sumber permasalahan kelangkaan elpiji melon versi perusahaan negara penyedia elpiji bagi rakyat.

Pernyataan dari jajaran ‘orang’ Pertamina ini sayangnya justru berkebalikan dengan ironi keberhasilan Indonesia menjadi negara pengekspor LNG terbesar di dunia, dengan kuantitas ekspor LNG 47,2 persen dari total ekspor gas dunia setiap tahunnya. Lebih jauh situs resmi Kementerian ESDM meramal cadangan gas bumi kita cukup untuk memenuhi kebutuhan Indonesia selama 56 tahun ke depan. Lalu bila kemampuan ekspor gas alam negeri ini sebesar itu, mengapa perusahaan negara penyedia gas alam siap pakai untuk rakyat tidak mampu menyediakan elpiji terjangkau yang dibutuhkan rakyat?

Sungguh ajaib respon pejabat negara kita pada masalah yang membebani rakyat kecil. Di saat rakyat menjerit karena mereka mengalami kesulitan –kelangkaan LPG bukan hanya bermakna dapur tidak bisa mengepul tapi pendapatan dari warung-warung dan jualan keliling mereka kosong-melompong–  pejabat negara malah berteriak menyalahkan rakyat yang jadi tersangka penyebab masalah. Yang jadi korban rakyat, namun rakyat pula yang dibuat menangis dan sakit hati oleh respon para penguasa di atasnya.

Di sisi lain, fakta kekayaan alam negeri ini tidak dapat dielakkan. 47,2 persen bagian gas alam dalam trading gas alam dunia menandakan negeri ini memang gemah ripah loh jinawe, kaya raya kekayaan alamnya. Namun kekayaan ini tidak pernah secara merata dan riil dirasakan rakyat banyak. Gas alam beli mahal, langka, harga melangit, saat langka rakyat pula yang disalahkan. Lantas, apa gunanya pengaturan negara di bumi kaya raya Indonesia?

Fenomena ganjil semacam ini sebenarnya normal terjadi dalam masyarakat yang menjadikan kompromi berbagai kepentingan sebagai asas duduknya setiap kepala di jajaran pemerintahan negara, salah satu borok demokrasi. Aparatur negara demokrasi bukanlah orang-orang yang mengeluarkan uang dan tenaga banyak saat kampanye agar bisa menjadi sekedar pelayan bagi rakyat kecil. Tidak bisa dipungkiri, ongkos penyelenggaraan demokrasi sedemikian mahal. Kompromi kepentingan antar berbagai pihak yang berani membiayai mahalnya proses demokrasi negeri ini dengan para penguasa terpilih bukanlah hal yang tabu lagi untuk dibicarakan.

Wajar, saat berada di kursi kuasanya, aparatur negara akan menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan hasil kompromi kepentingan pihak-pihak yang mendanai jalan mulusnya. Inilah gunanya pengaturan di negara kaya kekayaan alam ini: membayar kompromi rakyat yang berduit, bukan rakyat jelata yang ramai menjerit.

Namun ganjil tetap ganjil, rakyat tetap merasa sakit, LPG lumayan murah terus langka, dan pemerintah kita terus menjadikan rakyat sebagai pesakitan yang dituduh menjadi penyebab sakitnya sendiri. Inilah wujud penguasa dzolim, penguasa yang tidak fokus pada kewajibannya untuk mewujudkan keadilan ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kesehatan, bahkan keamanan untuk rakyat. Bukan hanya tidak fokus, mereka malah sibuk melayani kepentingan pihak lain sesuai dengan kompromi di awal kekuasaannya.

Di sisi lain, hak rakyat untuk mendapatkan kemudahan hidup –sekedar mudah mendapat elpiji terjangkau– diabaikan bahkan dianggap tidak ada. Sangat besar kehinaan penguasa dzolim ini di hadapan rakyat, hilang wibawa dan kepercayaan, bahkan dibenci dan dihujat. Lebih besar lagi kehinaan di sisi Allah nanti, saat Allah menenggelamkannya di tempat dengan azab terpedih di akhirat kelak.

Alangkah ironisnya kondisi ini dibandingkan apa yang dilakukan seorang Khalifah umat Islam, Umar bin Khattab ra. saat beliau mendengar seorang wanita yang memasak batu untuk anak-anaknya yang kelaparan kala paceklik melanda hijaz. Seketika itu beliau pergi menuju gudang makanan di kota, lalu memanggul sendiri sekarung gandum dengan tergesa menuju rumah keluarga yang kesulitan itu. Bahkan saat seorang pegawainya menawarkan untuk memanggulkan gandum itu, sang Khalifah menolak sambil bertanya, “Beranikah kamu menggantikan memanggul tanggung jawabku di akhirat kelak?”.

Lalu beliau mendatangi rumah itu, memasakkan gandum itu untuk mereka, makan malam bersama mereka, bahkan menghibur sang anak hingga tertidur. Tak satupun anggota keluarga itu tahu bahwa yang sedang membantu mereka adalah seorang penguasa tertinggi kaum muslimin, karena Umar yang mengatur negara dengan Islam tidak menghendaki pujian manusia, melainkan pujian dan keridhoan Allah saat dirinya berlaku adil kepada semua rakyatnya.

Namun jangan berharap akan muncul Umar dalam sistem ini. Sungguh, Umar bin Khattab ra. adalah seorang Khalifah, yang menjalankan negara dengan hukum Allah dan dibaiat oleh umat untuk menegakkan Islam secara sempurna, memimpin dengan adil, dan menyebarkan dakwah ke seluruh penjuru dunia. Khalifah yang takut kepada Allah dan mengabdi sebagai pelayan umat.

Negara inilah yang dipimpin dan dicontohkan oleh Umar bin Khattab ra. Inilah Khilafah Islamiyah yang berjalan sesuai dengan contoh dari Nabi SAW. Dan sungguh, hanya dengan Khalifah yang memimpin negeri ini dengan Islam kaffah dalam Khilafah, kedzaliman yang mendera dan menjadi sumber kesakitan negeri ini akan binasa. Lalu akan datang masa di mana gemah ripah loh jinawe berwujud nyata, dirasakan seluruh penjuru Indonesia bahkan dunia, hingga baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur menjadi sebutan baru untuk negeri kaya raya Indonesia.

Hanya, bila rakyat sudah muak dengan kedzaliman yang menghantam mereka tiap detik, lalu bersama-sama menyatukan niat dan tekad untuk tobat kepada pemilik alam semesta, kembali kepada Islam yang diturunkan secara sempurna, dan mewujudkan Khilafah Islam ‘ala minhajin nubuwah di negeri tercinta. Inilah keadilan untuk rakyat yang sebenarnya. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version