Oleh: Ummu Naflah
(Barisan Emak-emak Militan, tinggal di Tangerang)
”Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika suatu saat kekhilafahan Turki Utsmani runtuh, kemungkinan besar mereka akan bisa mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat Tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.” -Sultan Abdul Hamid II-
Perkataan yang berani tersebut diucapkan Sultan Abdul Hamid II kepada Theodore Hertzl, utusan Zionis Yahudi ketika meminta tanah Al-Quds untuk kaum Yahudi kepada khalifah terakhir kaum muslimin tersebut. Theodore Hertzl tidaklah datang dengan tangan kosong. Disodorkannya uang sebesar 150 juta poudsterling khusus untuk pribadi sultan, melunasi semua hutang pemerintah Utsmaniyyah yang mencapai 33 juta poundsterling, membangun kapal induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta frank, memberi pinjaman 5 juta poundsterling tanpa bunga, serta membangun Universitas Utsmaniyyah di Palestina. (Muhammad Harb, Catatan Harian Abdul Hamid II).
Harta yang tak sedikit nilainya tersebut untuk menyuap Sultan Abdul Hamid II agar sultan mau menyerahkan Al-Quds kepada Yahudi. Tapi sultan tetap bergeming dengan pendiriannya bahwa Al-Quds adalah tanah milik kaum muslimin. Harta dunia pun tak ada artinya dihadapan sultan. Menjaga dan mempertahankan Al-Quds adalah amanah yang harus diemban dipundaknya sebagai seorang khalifah.
Padahal di satu sisi Daulah Utsmaniyyah sedang dalam kondisi yang paling lemah. Kekalahan akibat Perang Dunia I, telah membuat negara jatuh dalam kebangkrutan. Sekularisasi dan pemberontakan yang dilakukan oleh Mustafa Kemal lewat Turki Muda-nya telah berhasil menyuntikan benih-benih nasionalisme di seluruh wilayah daulah, yang mengakibatkan terlepasnya satu demi satu wilayah daulah. Melihat kondisi negara yang demikian lemah tak menyurutkan keberanian Sultan Abdul Hamid II melindungi tanah suci Al-Quds dengan kekuatannya yang terakhir.
Seharusnya begitulah sikap seorang muslim, mempertahankan Palestina sampai titik darah penghabisan. Apalagi pasca arogansi Trump mengakui secara resmi Yerusalem sebagai ibukota Israel, serta memerintahkan dimulainya pemindahan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke kota bersejarah tersebut ( tirto.id, 7/12 ).
Trump telah memicu kemarahan seluruh kaum muslimin di dunia. Kecaman pun datang dari berbagai pihak terutama dari dunia Islam menanggapi aksi nekat Trump. Berbagai diplomasi negara pun dilakukan untuk “membujuk” Si Donald mengurungkan rencananya. Pertanyaan kita sekarang solusikah mempertahankan Palestina dengan hanya mengecam?
Palestina adalah warisan kaum muslimin. Menjadi kewajiban seluruh kaum muslimin untuk menjaga dan mempertahankannya. Sejarah mencatat sejak masa Umar bin Khaththab sampai Shalahuddin Al-Ayubi, Palestina dipertahankan oleh kaum muslimin dengan kekuatan militernya. Karena itu menghentikan konflik yang terjadi di Palestina baik saat ini mau pun di masa datang adalah dengan mengakhiri segala bentuk penjajahan dan mengusir hegemoni Zionis Israel atas Palestina. Bukan dengan dengan mengambil solusi yang ditawarkan oleh PBB yang merupakan boneka buatan AS dan sekutunya.
Namun faktanya potensi kekuatan militer kaum muslimin yang demikian besar harus terkotak-kotak dalam negara bangsa, yang dipimpin oleh penguasa yang belum memiliki visi dan misi yang sama dalam membebaskan Palestina dari tirani Israel. Pandangan yang sama dalam menyelesaikan konflik Palestina tidak akan diperoleh tanpa satu kepemimpinan yang sama. Disinilah letak urgensi institusi khilafah sebagai sebuah solusi.
Karena itu pentingnya kesadaran umat bahwa hanya khilafah satu-satunya institusi yang mampu menyatukan visi dan misi serta menghimpun kekuatan militer yang ada di dunia Islam untuk mengakhiri segala konflik yang terjadi baik di Palestina mau pun di negeri-negeri Islam lainnya.
Tentunya dengan komando jihad yang diserukan oleh seorang khalifah untuk melindungi darah, jiwa, raga dan harta seluruh manusia, apa pun agama, golongan, ras mau pun sukunya. Satu-satunya institusi yang menjaga kehormatan dan kemuliaan kaum muslimin dan Islam. Wallahu’alam bishshawwab. [syahid/voa-islam.com]