Oleh: Novia Roziah*
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terkait perluasan aturan soal perzinaan, perkosaan, dan juga pencabulan. Gugatan tersebut terkait perbuatan zina dalam kumpul kebo hingga soal LGBT bisa dipidana. Pihak yang menjadi pemohon ini adalah Guru Besar IPB Euis Sunarti dengan beberapa orang lainnya. Mereka menggugat Pasal 284 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP yang mengatur soal perzinaan, perkosaan, dan juga pencabulan. Pasal-pasal tersebut saat ini ini dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Pada gugatannya, mereka meminta MK mengubah frasa dalam aturan-aturan tersebut. Hal tersebut membuat objek dalam aturan tersebut menjadi lebih luas. Perbuatan cabul sebagaimana pada pasal 292 KUHP diminta turut mencakup setiap perbuatan cabul oleh setiap orang dengan orang dari jenis kelamin yang sama, bukan hanya terhadap anak di bawah umur. Hal ini membuat Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) akan bisa dijerat pidana. Read more: http://www.tribunislam.com/2017/12/putusan-mk-kumpul-kebo-dan-lgbt-tak-bisa-dipidana.html#ixzz51LvGA3Zm
LGBT Dosa Besar
LGBT merupakan tindakan yang amat tercela dalam pandangan Islam. Bahkan kisah kaum Nabi Luth yang di azab karena perilaku homoseksualnya secara gamblang dituliskan dalam kitab suci Alquran. Namun tampaknya hal ini tidak membuat para pembuat hukum sadar dan mau mengambil pelajaran. Bahka dengan alasan frasa yang diajukan untuk diubah bukan termasuk wewenang pengadilan, tapi wewenang DPR sebagai wadah legal perumus undang undang, maka gugatan dari Euis Sunarti ini harus dilimpahkan ke DPR.
Indonesia sebagai sebuah Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, melihat kenyataan bahwa sistem perundang undangannya tidak mampu menyelesaikan masalah LGBT merupakan peristiwa yang sungguh menyakitkan . LGBT yang jelas bertentangan dan diharamkan dalam agama islam serta termasuk dalam kategori dosa besar malah dilegalkan.
Demokrasi Sitem Rusak
Hal ini semakin membuktikan kebobrokan penerapan sistem Demokrasi. Dalam alam Demokrasi, permasalahan apapun jika disetujui oleh mayoritas pembuat UU maka seberapa besar keburukannya tetap akan diterima. Pada kasus pelegalan LGBT ini perbandingan Hakim MK yang setuju dan yang tidak setuju LGBT dipidanakan adalah 4 : 5. Meski hanya selisih satu suara, namun keputusan untuk menolak gugatan tetap diambil.
Pasalnya yang menjadi alasan bukan karena isi gugatan yang jelas melanggar norma agama, tapi terletak pada kerancuan pemahaman para Hakim yang menganggap LGBT bukan merupakan tindak kriminalitas yang bisa dipidanakan, tapi masuk ranah pribadi yang dilindungi hak asasi manusia dan ini dilindungi oleh UUD.
Kita bisa melihat betapa berbahaya nya saat kebijakan yang diambil dari hawa nafsu manusia memutuskan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh bagi manusia itu sendiri. Ketika manusia sesuka hati melegalkan suatu hukum dengan alasan disepakati oleh suara mayoritas, sedangkan hakikat suatu kebenaran bukan terletak pada seberapa banyak manusia yang setuju.
Maka yang akan terjadi adalah kerusakan tatanan kehidupan. Karena system demokrasi ini meletakkan rakyat atau orang-orang yang mewakilinya (seperti anggota parlemen) sebagai sumber hukum Maka dengan demikian landasan hukumnya tidak merujuk kepada Allah Ta’ala, tapi kepada rakyat dan para wakilnya. Sesuai dengan makna kata demokrasi yang berasal dari Bahasa Yunani demos yang artinya khalayak manusia atau rakyat dan kratia yang artinya hukum
Hal ini semakin memperjelas bahwa demokrasi bukan produk yang berasal dari islam tapi Demokraasi bertentangan dengan islam dalam hal yang paling mendasar yakni wewenang melegalkan hukum. Dalam Demokraasi kedaulatan berda ditangan rakyat. Dalam Islam kedaulatan berada ditangan syara’
Sekali lagi hal ini menunjukkan bahwa diterapkannya Demokrasi hanya akan membuat manusia semakin jauh dari agamanya dan menghilangkan fitrah penciptaanya sebagai seorang hamba.
Larangan Mengambil Hukum Selain Hukum dari Allah Ta’ala
Allah berfirman dalam QS Al-Maidah ayat 49 - 50
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
Artinya: ” Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Artinya : “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
Dari dua ayat diatas sudah cukup untuk menjawab kekeliruan rujukan yang diambil oleh Hakim Mahkamah Konstitusi. Sudah saatnya umat islam memahami hakekat agamanya, serta memahami hukum apa yang harus mereka pergunakan untuk mengatur kehidupan mereka. Hanya dengan hukum yang berasal dari Allah sang Khaliq yang menciptakan manusia, yang dapat membuat kehidupan manusia berjalan sesuai dengan fitrah penciptaannya bukan dengan jalan mengambil sistem Demokrasi yang menjauhkan manusia dari fitrah penciptaannya.
Dengan menerapkan hukum yang berasal dari sang Pencipta,yang mengetahui seluk beluk ciptaanNya, maka akan terwujud kehidupan islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Waalahu’alam bishowab. [syahid/voa-islam.com]