Oleh: Edy Mulyadi*
Benarkah konsumsi publik turun? Silang pendapat perkara ini sepertinya belum segera berkesudahan. Masing-masing pihak keukeuh dengan pendapatnya. Pemerintah termasuk dalam gerbong penolak pendapat ini. Sejumlah menteri ekonomi beranggapan, konsumsi publik tidak turun. Yang terjadi hanyalah shifting dari belanja off line ke online.
Tapi, ketimbang sibuk ngeles dan menumpuk berbagai dalih, jauh lebih baik Pemerintah fokus menggenjot konsumsi publik. Bukankah selama ini konsumsi dalam negeri terbukti menjadi penyumbang pertumbuhan ekonomi yang utama? Tahun ini saja, kontribusinya diperkirakan mencapai 58%.
Bagaimana caranya? Ekonom senior Rizal Ramli punya resep jitu. Dari sisi supply, Pemerintah harus berupaya menekan harga berbagai kebutuhan pokok serendah mungkin. Pasalnya, selama puluhan tahun rakyat Indonesia dipaksa membayar harga kebutuhannya lebih mahal daripada semestinya.
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa produk pangan di Indonesia dikuasai kartel. Masyarakat menjuluki mereka sebagai Tujuh Samurai. Tapi Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur itu menyebut pelaku kartel sebagai begal. Samurai adalah sebutan para ksatria Jepang yang memiliki sifat-sifat terpuji. Sebaliknya para pelaku kartel telah merugikan negara dan menyengsarakan rakyat dengan model bisnis yang sangat tercela.
“Ganti sistem kuota impor dengan tarif. Karena sistemkuota hanya dinikmati segelintir pelaku impor bermodal raksasa. Mereka inilah yang mendikte harga. Dengan keuntungan sangat besar yang diperoleh, para begal menyogok pejabat untuk terus memberi privilege alokasi kuota impor,” ujar Rizal Ramli.
Sistemtarif akan membuka peluang yang sama kepada semua pihak. Dengan begitu, sumber pasok bahan pangan lebih banyak dan variatif. Akibatnya harga berbagai komoditas tadi bisa diturunkan sangat signifikan. Rakyat dapat membeli lebih banyak karena harganya lebih terjangkau. Kalau sudah begini, ujung-ujungnya konsumsi publik ikut terdongkrak dan ekonomi melambung lebih tinggi.
Pompa Kredit
Selain memperbaiki sisi suplai, konsumsi publik juga bisa diekerek dengan meningkatkan permintaan. Caranya, berdayakan ekonomi masyarakat, khususnya kalangan menengah-bawah. Untuk itu, dari sisi moneter, Pemerintah harus mampu menggenjot kredit hingga mampu menumbuhkan kegiatan ekonomi rakyat.
BI melaporkan pertumbuhan kredit pada September 2017 mencapai 7,9% year on year. Angka ini lebih rendah dibandingkan Agustus yang 8,3% (yoy). Itulah sebabnya BI kembali merevisi proyeksi pertumbuhan kredit hingga akhir tahun menjadi 8%. Awal tahun silam, BI memprediksi pertumbuhannya bisa mencapai 10%-12%. Sebelumnya BI juga telah mengoreksi target menjadi di kisaran 8%-10%.
Ini jelas sangat tidak memadai. Harusnya Pemerintah menggenjot rata-rata nasional minimal jadi 15%, baru ekonomi menggeliat dan bergairah lagi. Tentu saja, perbankan nasional harus tetap prudent. Mengobral kredit secara serampangan sama saja mengundang hantu non-performing loan (NPL) yang amat mengerikan.
Keberpihakan yang nyata dari Pemerintah dan BUMN untuk meningkatkan ekonomi dan daya beli rakyat adalah suatu keharusan. Selama ini, mayoritas kredit hanya dinikmati pengusaha besar. Tidak tanggung-tanggung, komposisinya tidak kurang dari 73%. Sisanya yang 17% diperebutkan oleh usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Rizal Ramli menyebut program PT Permodalan Nasional Madani (Persero) yang terbukti sukses mendongkrak daya beli masyarakat kalangan bawah. Lewat program Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (Mekaar), PNM berhasil menggaet dua juta nasabah dengan pinjaman modal Rp2 juta-Rp3 juta bertenor enam bulan. Hasilnya luar biasa. Ekonomi mereka jadi lebih baik, dan tentu saja, daya beli pun meningkat.
PNM yang modalnya Rp1,3 triliun, mampu menyalurkan kredit Mekaar kepada 2 juta nasabahnya. Semua nasabah Mekaar adalah ibu-ibu yang bermaksud meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga. Jumlah outstanding kreditnya mencapai Rp4 triliun. jumlah NPL pun kecil sekali, hanya 0,21%.
Namun kecilnya permodalan, membuat upaya PNM pun jadi terbatas. Itulah sebabnya Rizal Ramli minta Pemerintah meningkatkan modal PNM menjadi Rp5 triliun. Jika permintaan ini dipenuhi, maka jumlah nasabah yang bisa dijangkau bisa melonjak lebih dari 10 juta pelaku usaha mikro dan kecil.
Soal memompa kredit untuk peningkatan konsumsi publik bukanlah barang baru bagi mantan penasehat ekonomi Perserikatan Bangsa Bangsa ini. Ketika menjadi Komisaris Utama bank BNI, hanya dalam tempo lima bulan (Maret-Agustus 2015) Rizal Ramli sukses menggenjot penyaluran kredit hingga tumbuh 24%. Angka ini jauh melampaui rata-rata nasional yang hanya 12%.
Saat itu, 73% dari total kredit BNI adalah kredit di segmen business banking. Bentuknya berupa kredit produktif, seperti kredit modal kerja dan investasi. Kemudian disalurkan ke segmen korporasi, menengah, dan rakyat kecil termasuk Kredit Usaha Rakyat (KUR). Ini tidak mengherankan, karena selama ini dia memang dikenal sebagai ekonom yang gigih memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat kelompok menengah-bawah.
Terbang ke 6,5%
Solusi yang disodorkan Menteri Keuangan RI ke-23 yang menjabat pada 21 Juni-9 Agustus 2001 ini diterapkan terbukti ampuh. Jika saja Pemerintah mau menerapkannya, ekonomi Indonesia bisa lebih baik dari sekadar tumbuh 5% seperti tiga tahun terakhir. Apalagi bila ditambah dengan sejumlah resep ampuh lainnya, bukan mustahil dalam dua tahun ke depan ekonomi Indonesia dapat terbang ke level 6,5%.
Resep itu di antaranya, pertama, melonggarkan anggaran atau belanja pemerintah. Kedua, memompa fiskal dengan menggunakan dana non-APBN. Salah satunya melalui program revaluasi aset. Ketiga, keberanian membuat kebijakan terobosan. Salah satunya melalui pariwisata yang terbukti mampu jadi job creator yang cepat dan murah.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi bisa didongkrak dengan manajamen utang yang baik. Di antaranya merenegosiasi utang dengan pihak kreditor lewat teknik debt swap. Di era Presiden Gus Dur, Indonesia berhasil memperoleh pengurangan utang dari Eropa setelah berkomitmen melakukan konservasi hutan. Langkah ini mungkin dilakukan lagi karena politisi Eropa sedang giat berkampanye pelestarian lingkungan hidup.
Tim ekonomi Pemerintah juga harus berani mendesak kreditor setuju merestrukturisasi utang yang jumlahnya sangat besar dan kian mengkhawatirkan. Sukses restrukturisasi utang di masa Gus Dur bukan cuma menukar utang berbunga tinggi dengan bunga rendah, tapi juga dapat bonus jembatan Pasopati di Bandung dari pemerintah Kuwait secara cuma-cuma.
Sayangnya, tim ekonomi Jokowi nyaris bisa dipastikan tidak bakal menerapkan sejumlah growth story tadi. Mazhab neolib yang mereka genggam, tidak menutup peluang itu. Menko Perekonomian Darmin Nasution dan Menkeu Sri Mulyani adalah orang-orang yang setia berkacamata kuda. Berharap mereka melakukan terobosan, apalagi meninggalkan pakem-pakem neolib, nyaris sama saja berharap unta melewati ke lubang jarum.
Tapi yang kasihan rakyat Indonesia. Rakyat jadi korban sikap degil para pejuang neolib yang hingga kini masih saja menggenggam kekuasaan. Pak Jokowi, pripun..? [syahid/voa-islam.com]
*Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)