View Full Version
Ahad, 31 Dec 2017

Terpenuhinya Kebutuhan Hidup: Kebahagiaan Hakiki?

Oleh: Hamsina Halik, A.Md (Anggota Komunitas Revowriter)

Luka mendalam kembali menyelimuti dunia hiburan K-POP dengan kematian JongHyun (18/12),  salah satu personil group band SHINEe, terutama bagi Shawol, julukan penggemar JongHyun. Berbagai aksi dilakukan untuk menunjukkan kesedihan mereka ditinggal sang idola, penghormatan mereka menjadi bukti cinta mereka.

Di Kota Santiago, Chili, pada Senin, 18 Desember 2017. Shawol menggelar aksi di depan Kedutaan Besar Korea Selatan sebagai tribut atas kematian Jonghyun yang ditemukan tewas akibat bunuh diri sehari sebelumnya.

Di Indonesia, dalam situs pencarian google, kabar kematian JongHyun menjadi berita  paling teratas, paling banyak dicari oleh kalangan pencinta K-POP.  Ungkapan  belasungkawa dari Shawol pun menjadi viral didunia maya, diberbagai  media sosial.

Jonghyun ditemukan tak sadarkan diri di apartemennya yang terletak di distrik Gangnam, Seoul. Penyebab kematiannya adanya briket batubara yang terbakar yang menghasilkan karbon monoksida. Briket batubara digunakan untuk menghangatkan ruangan disaat musim dingin, namun kebanyakan orang menggunakannya sebagai salah satu cara untuk bunuh diri.

Kematian Jonghyun ini kembali menambah daftar korban bunuh diri di negeri ginseng ini.  Dilaporkan LA Times, pada tahun 2015, Korea Selatan melaporkan 13.500 kasus bunuh diri, atau sekitar 37 bunuh diri per hari. Di negeri ginseng tersebut, menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia, bunuh diri adalah penyebab kematian nomor dua setelah kecelakaan kendaraan. 

 

Kosongnya Jiwa dari Nilai Ilahiyah

Kurang apa coba si JongHyun ini. Paras yang rupawan, harta yang bergelimpangan, barang-barang mewah, popularitas, kasih sayang dari para fansnya semua dimiliki. Namun, ternyata tak menjamin kebahagiaan hidupnya. Adanya tekanan hidup, persaingan yang ketat dalam dunia hiburan yang sangat menguras tenaga dan pikiran dalam dunia hiburan hingga adanya kekosongan hati dan jiwa membuatnya depresi hingga memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Mari kita mengingat kembali pernyataan seorang Rina Nose dengan mudah mengalir dari lisannya, "kalau hidupmu sudah sebaik ini tanpa agama, lalu kenapa kamu ingin mencari Tuhan dan ingin memiliki agama?". Sebuah negeri tanpa agama membuat dirinya seakan-akan menjadi ragu akan agama,  takjub dan terkesima dengan kehidupan mereka disana yang sebagian besar penduduknya tak memiliki agama tapi bisa hidup damai dan rukun serta menjunjung tinggi nilai moral dan kemanusiaan. Seakan-akan dari lubuk hati yang dalam ingin menyampaikan kepada dunia, "hei, lihatlah disini mereka tak punya agama tapi hidupnya bahagia. Tanpa agama pun akan baik-baik saja".

Lihatlah negeri ini, Jepang dan Korea Selatan, tak jauh berbeda. Mayoritas penduduknya hampir tak beragama, memiliki kedisiplinan yang tinggi, menjunjung tinggi nilai moral dan kemanusiaan, kemajuan teknologi, fasilitas hidup yang memadai. Namun, apa yang terjadi? Banyak diantara mereka yang rela mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, padahal taraf ekonomi mereka juga diatas rata-rata. Kegersangan hati dan kekosongan jiwa dari nilai-nilai Ilahiyah lah yang membuat mereka tak memahami arti kebahagiaan hakiki, akibatnya kejenuhan hidup menghinggapi mereka.

Tak ada tempat untuk meluapkan segala kegundahan dan kegalauan mereka. Tak ada penyejuk hati tuk terlepas dari masalah kehidupan yang mereka hadapi. Tak ada solusi yang jitu untuk keluar dari persoalan hidup selain pilihan bunuh diri.

 

Kebahagian Hakiki

Kebahagiaan, inilah hal yang paling sering dicari oleh orang. Jika saja kebahagiaan itu dijual dipasar, maka orang-orang akan mengantri untuk membelinya. Sayangnya, kebahagiaan bukanlah barang yang bisa diperjualbelikan. Jika saja kebahagiaan itu semudah memetik bunga di taman,  maka orang akan berbondong-bondong memetiknya. Sayangnya, kebahagiaan bukan bunga yang mekar begitu indahnya  yang bisa dipetik begitu saja.

Wajah yang tampan, kekayaan, ketenaran dan segala kemewahan dunia dan penampakan fisik lainnya bukanlah jaminan kebahagiaan hidup. Karena, kebahagiaan tidak nampak dari luar saja (jasadiyah). Jika, ada yang mengatakan bahwa sumber kebagiaan itu adalah materi, maka dia keliru besar. Karena, materi hanya bisa dijadikan sebagai alat untuk meraih kebahagiaan, bukan sebagai tujuan kebahagiaan itu sendiri.

Bagi paham sekuler-kapitalis, bahagia itu akan diraih dengan terpenuhinya semua kebutuhan hidup, tanpa itu semua maka hidup tak akan ada kedamaian. Tak jauh berbeda dengan paham komunis-sosialis, diraihnya kebahagiaan itu dinilai dengan materi, karena dengan materi inilah segala kebutuhan hidup akan terpenuhi. Memperoleh kenikmatan jasmani inilah yang menjadi poin penting kebahagiaan menurut kedua ideologi ini.

Maka, tak heran bagi penganut paham ini, mereka akan mati-matian menghabiskan sisa hidupnya untuk meraih materi yang sebanyak-banyaknya, tak peduli halal atau haram, menguntungkan atau merugikan orang lain, hingga tak peduli lagi dengan lingkungan sekitarnya sebab kesibukannya memenuhi kebutuhan hidup.  Jika, tak terpenuhi? Depresi akan menghinggapi mereka karena tak sanggup menghadapi beban hidup, bahagia tak diraih.  Sedangkan Islam memandang kebahagiaan itu diraih semata-mata untuk  mencapai ridho Allah SWT yang terletak dalam ketaatannya disetiap perbuatannya.

Lihatlah sahabat Rasulullah SAW,  Abburrahman bin Auf,  salah satu sahabat yang memiliki kedudukan disisi Rasulullah dan harta yang berlimpah. Tak seperti kebanyakan orang yang menjadikan  bergelimangnya  harta sebagai  tujuan meraih kebahagiaan, Abdurrahman  bin Auf justru menjadikan  hartanya  ini sebagai  sarana untuk mencapai kebahagiaan. Dengan harta yang lebih, beliau sedekahkan harta itu dijalan Allah, dijalan dakwah dan keperluan jihad fi Sabilillah. Untuk apa? Semata-mata meraih ridho Allah SWT, kebahagiaan hakiki dunia dan akhirat.

Tak perlu risau, jika kita telah menjadikan tolok ukur kebahagiaan adalah ridho Allah, maka Allah akan senantiasa memberikan kebahagiaan itu dengan memenuhi segala kebutuhannya dalam perjalanan hidup ini. Firman-Nya:

“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka”. (TQS Al Thalaq : 2

Dan:

“Siapa yang bertawakal kepada Allah, Dia akan mencukupinya” (QS Al Thalaq : 3).

Kunci kebahagiaan hakiki itu sendiri adalah totalitas penyerahan diri kepada Allah SWT yang akan membawa kita lebih dekat dan pasrah kepada-Nya dalam situasi apapun. Hanya islamlah  yang mampu menentramkan hati, menenangkan jiwa, memuaskan akal, dan sesuai dengan fitrah manusia. Karena islam adalah agama yang bukan hanya sekedar ritual belaka, di dalamnya terdapat berbagai macam petunjuk untuk menuju jalan kebahagiaan.

Agama yang diridhai Allah SWT, dengan terikat pada syariat Islam kehidupan ini akan menjadi jauh lebih bahagia dari sebelumnya.  Tak ada alasan menolak kebahagiaan yang telah ditawarkan oleh Allah  melalui Islam. Karena, Allah SWT telah berfirman:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (Al Maidah :3). [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version