View Full Version
Ahad, 31 Dec 2017

Perayaan Tahun Baru Bentuk Tasyabbuh

Oleh: Ani Ummu Khalisha (Pemerhati Dunia Islam)

Tepat jam 12 malam terompet akan ditiup. Semburat warna warni pesta kembang api akan menghiasi langit. Tak ketinggalan, hingar bingar pertunjukan musik satu paket dengan pesta pora. Hingga dentuman lonceng tahun baru dibunyikan, gemuruh teriakan 'Happy New Year' mulai menggema. 

Itulah yang akan kita temui setiap malam pergantian tahun. Energi yang begitu kuat menggiring milyaran manusia di penjuru dunia untuk ikut terlena didalamnya, terbuai dengan sukacitaannya. Yang membuat miris, umat Islam turut serta memeriahkan, tanpa memahami sejarah dan dasar di balik perayaan tahun baru masehi ini. 

Adalah Gaisus Julius Caesar, seorang kaisar Romawi orang pertama yang membuat penanggalan kalender pada  tahun 45 SM. Lalu dalam perkembangannya, seorang pendeta Nasrani yang bernama Dionisius kemudian memanfaatkan penemuan kalender dari Julius Caesar ini untuk diadopsi sebagai penanggalan yang didasarkan pada tahun kelahiran Yesus Kristus.

Pope (Paus) Gregory III mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan mengukuhkannya sebagai sistem penanggalan yang harus digunakan oleh seluruh bangsa Eropa. Bahkan kini di seluruh negara di dunia dan berlaku umum bagi siapa saja. 

Orang Romawi mempersembahkan hari itu (1 Januari) kepada Janus, dewa segala gerbang, pintu-pintu, dan permulaan (waktu). Bulan Januari diambil dari nama Janus sendiri, yaitu dewa yang memiliki dua wajah – sebuah wajahnya menghadap ke masa depan dan sebuahnya lagi menghadap ke masa lalu. Tahun Masehi sebenarnya berhubungan dengan keyakinan agama Kristen. Masehi adalah nama lain dari Isa Al Masih. 

Seiring muncul dan berkembangnya agama Nashrani, akhirnya perayaan ini diwajibkan oleh para pemimpin gereja sebagai satu perayaan suci sepaket dengan Natal. Itulah sebabnya ucapan Natal dan Tahun baru dijadikan satu, "Merry Christmas and Happy New Year". Padahal, tahukah kita bahwa ini adalah bentuk tasyabuh? 

At-Tasyabbuh secara bahasa diambil dari kata al-musyabahah yang berarti meniru atau mencontoh, menjalin atau mengaitkan diri, dan mengikuti. At-Tasybih berarti peniruan. Dan mutasyabihah berarti mutamatsilat (serupa). Dikatakan artinya serupa dengannya, meniru dan mengikutinya. 

Tasyabbuh yang dilarang dalam al-Quran dan as-Sunnah secara syar’i adalah menyerupai orang-orang kafir dalam segala bentuk dan sifatnya, baik dalam aqidah, peribadatan, kebudayaan, atau dalam pola tingkah laku yang menunjukkan ciri khas mereka. 

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka”. 

Hadits di atas menerangkan bahwa kita tidak boleh menyerupai suatu kaum, dalam hal ini perayaan tahun baru yang merupakan budaya kaum Nasrani untuk persembahan kepada dewa yang mereka yakini. Jika kita ikut merayakannya  sama saja kita membenarkan keyakinan itu. 

Umar bin Khatab ra. berkata, "Janganlah kalian mengunjungi kaum Musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka pada hari besar mereka, karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun atas mereka". (HR. Al Baihaqi, no.18640) 

Dari hadist tersebut, jelas kalau mengucapkan selamat atau ikut serta dalam merayakan hari-hari besar kaum musyrikin (tahun baru, natal, valentine, dll) hukumnya haram dilakukan oleh umat Islam. 

Sebagai umat Islam, tentu tak patut kita mengadopsi dan bertasyabbuh dengan budaya yang jelas keharamannya, banyak kemudharatan, kemaksiatan, dan secara tidak sadar menjauhkan umat dari syari'at-Nya serta mengikis aqidah karena ketidaktahuan kita. 

Agar tidak terjebak oleh hal yang akan menyebabkan kita masuk ke dalam kesesatan, kita harus mengetahui tentang asal muasal dari perayaan tahun baru masehi, begitu juga dengan perayaan lainnya. Salah satu cara untuk mengetahuinya adalah dengan mengkaji Islam. 

Islam adalah agama yang sempurna. Di dalamnya ada aturan yang  jelas untuk  segala perkara mulai hubungan  manusia dengan sang pencipta, hubungan manusia dengan dirinya, dan  manusia dengan manusia lainnya. Karena segala perbuatan kita terikat dengan hukum syara', sebelum melakukan suatu perbuatan kita harus tahu apakah perbuatan tersebut dihukumi sebagai perbuatan yang boleh, wajib, sunnah, haram, atau makruh. Menjadikan Allah sebagai sang pencipta sekaligus pemberi aturan itu hal yang mutlak. 

Mengkaji Islam ini tak bisa sendirian. Harus ada dukungan dari berbagai pihak dan bergabung dalam komunitas kajian. Selain itu, dukungan negara tak kalah pentingnya. Negara yang nanti mengarahkan masyarakat untuk senantiasa mengkaji Islam agar masyarakat nya menjadi Islami, bukan malah mendorong melakukan kemaksiatan. Kalau masyarakat islami terbentuk, negeri yang baldatun thayyubatun wa rabbun ghafur pasti akan terwujud. 

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS Al Isra': 36). Wallahu  a'lam. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version