Oleh Edy Mulyadi*
(voa-islam.com), Rapat lima petambang besar batubara dan PT PLN (Persero) yang dipimpin Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan Senin, 5 Februari 2018, kemarin, berlangsung anti klimaks. Rapat sama sekali tidak menghasilkan keputusan. Jonan malah mempersilakan PLN untuk menegosiasikan harga batubara khusus domestic market obligation (DMO) dengan masing-masing petambang.
Sedianya rapat diharapkan bisa memberi kepastian harga batubara khusus DMO. Pasalnya, sebagai konsumen utama, keuangan PLN jadi babak-belur karena harga DMO batubara disamakan dengan harga di pasar dunia. Padahal, dalam beberapa waktu terakhir harga batubara terus melesat bak hendak menjangkau awan.
Selain PLN sebagai konsumen, lima petambang besar batubara yang hadir dalam rapat adalah PT Adaro Energy Tbk, PT Bukit Asam (Pesero) Tbk, PT Berau Coal Energy Tbk, PT Indika Energy Tbk, dan PT Kaltim Prima Coal. Jonan juga mengundang Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI). Dari kalangan birokrat, hadir Dirjen Ketenagalistrikan serta Dirjen Mineral dan Batubara.
Liarnya harga batubara benar-benar membuat PLN kelimpungan. Pada 2016, harga batubara yang dibeli PLN Rp630.000/ton. Lalu naik menjadi Rp853.000/ton pada tahun berikutnya. Inilah yang menyebabkan meroketnya biaya penyediaan tenaga listrik PLN sekitar Rp16,18 triliun pada 2017.
Ongkos naik Rp23,8 trlliun
Pada Januari 2018, harga batubara berkalori 6.322 terkerek lagi di posisi US$95,54/ton. Dihitung dengan kurs tengah Bank Indonesia hari ini, Selasa, 6 Februari 2018 yang Rp13.578/US$, itu setara dengan Rp1.297.242/ton. Tidak mengherankan bila biaya penyediaan listrik tahun ini diperkirakan bakal naik sekitar Rp23,8 trilyun.
PLN dipastikan tidak akan mampu menanggung beratnya beban tersebut sendiri. Indikasinya sudah jelas, kok. Laba PLN terjun bebas dari Rp10,98 triliun sampai September 2016 ke Rp3,06 triliun di periode yang sama 2017. Jika kondisi seperti ini dibiarkan, bisa dipastikan neraca PLN bakal merah dan berkobar-kobar karena terbakar harga batubara.
Itulah sebabnya, PLN benar-benar berharap rapat Senin kemarin bisa memberi solusi merah putih. Ya, merah putih. Karena pada persoalan tingginya harga DMO batubara akan berdampak serius terhadap kelangsungan pertumbuhan ekonomi negeri ini. Sampai pada batas tertentu, pembangkit listrik PLN tidak akan beroperasi karena tdak mampu membeli batubara yang jadi bahan bakarnya. Kalau sudah begini, negeri dengan lebih 260 juta jiwa penduduknya bakal mengalami masalah teramat serius. 67 juta pelanggan PLN, termasuk industri, bisnis, dan 63 juta pelanggan rumah tangga tidak bisa lagi menikmati listrik.
Bisakah anda membayangkan betapa serius dan gawatnya akibat listrik tidak mengalir? Konsumen rumah tangga dibekap gelap-gulita sepanjang malam. Bukan itu saja, adakah kegiatan rumah tangga modern yang tidak menggunakan listrik? Haruskah dada mereka jadi makin kempis karena terlalu banyak dielus sambil terus mengulang-ulang kata sabar, sabar, sabar. Maklum, ketiadaan listrik gampang memantik emosi yang dengan mudah berkobar menjadi amarah dan menjelma jadi amuk massa.
Pabrik-pabrik dan entitas bisnis berhenti beroperasi. Ujung-ujungnya pemutusan hubungan kerja (PHK) banyak terjadi. Penduduk kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Masalah sosial, termasuk aksi kiriminal, pasti terpicu dan merebak di mana-mana.
Lalu, bagaimana dengan sistem perbankan kita? Transaksi tidak bisa dilakukan. Berapa banyak kerugian yang diderita sulit terperi. Mesin-mesin ATM jadi benda mati yang sama yang sekali tak berfungsi.
Lalu, coba tengok jalan-jalan raya. Lampu-lampu pengatur lalu lintas jadi buta. Lalu lalang kendaraan tak terkendali. Kemacetan, kekacauan, bahkan kecelakaan menyergap seluruh penjuru kota.
Lihat juga bagaimana kantor-kantor beroperasi. Ruangan kerja gelap-gulita dan panas karena lampu dan mesin pendingin udara tidak berfungsi. Kondisi ini terjadi pada semua kantor, termasuk kantor para petambang besar yang menikmati laba luar biasa dahsyat dari melonjaknya harga batubara. Juga, tentu saja, kantor Menteri Jonan, pejabat publik paling berwenang yang Senin kemarin sama sekali tidak mengambil keputusan.
Ingkari kesepakatan
Seorang kawan yang terjun di bisnis batubara membocorkan suasana jalannya rapat kemarin. Betapa Dirut PLN Sofyan Basir kecewa berat dengan Jonan. Sebelumnya dia yakin betul, sebagai menteri Jonan akan bisa mengambil keputusan yang bijak. Sebuah keputusan sangat penting. Keputusan beraroma merah putih yang kental.
Sofyan sebelumnya yakin, sebagai menteri Jonan akan bekerja habis-habisan membantu bosnya yang Presiden NKRI yang berupaya menyejahterakan rakyat Indonesia. Caranya, antara lain, ya dengan memberi harga khusus untuk DMO batubara bagi pembangkit PLN dan Independent Power Producer (IPP).
Tapi ternyata Jonan benar-benar mengecewakan. Bukan saja bagi Sofyan, tapi juga bagi setiap rakyat yang cemas akan baying-bayang yang sangat mungkin terjadi. Sikapnya yang ‘menggantung’ persoalan ini sejatinya mengkhianati keputusan yang dibuatnya sendiri saat Raker dengan Komisi VII DPR. Saat itu, salah satu kesimpulan keputusan Raker adalah: “Komisi VII DPR RI SEPAKAT dengan Menteri ESDM RI untuk menetapkan HARGA KHUSUS untuk DMO batubara untuk pembangkit listrik PLN dan IPP.” Huruf besar dan cetak tebal dari saya, agar siapa pun yang membaca artikel ini paham; ini soal serius yang sama sekali tidak boleh dianggap sepele.
Barangkali Jonan lupa dengan kesekapatan Raker yang dia tandatangani itu. Padahal, Raker belum lama diselenggarakan, yaitu 25 Januari 2018. Entah apa saja yang menjejali benak pak Menteri, hingga dia bisa melupakan kesepakatan yang amat penting, strategis, dan vital itu.
Apakah Jonan jadi silau dengan gemerlap laba yang dicetak para petambang besar batubara? Keuntungan yang mereka raup dari melonjaknya harga komoditas ini memang amat amat dahsyat. PT Adaro Energy Tbk, misalnya, sampai triwulan III-2017 berhasil meraup laba sebesar US$495 juta, naik 76% dibandingkan periode yang sama tahun lalu atau setara dengan Rp6,6 triliun!
Itu baru Adaro saja. Diperkirakan kocek 10 pengusaha besar batubara dari durian runtuh ini makin membekangkak saja setelah mendapat tambahan pendapatan sekitar Rp60Trilyun. Mereka inilah yang menguasai 60% produksi 461 juta ton pada 2017.
Di sisi lain, pendapatan Pemerintah dari sini dapat apa nyaris tidak berarti. Tambahan royalti yang diperoleh hanya Rp1,3 triliun. Ironis sekaligus tragis!
Sebagai BUMN, PLN yang menghasilkan listrik harus menghasilkan laba agar bisa membayar pajak dan menyetor dividen. Pada saat yang sama, ia juga dibebani seabreg tugas sosial. Listrik yang dihasilkannya menjadi salah satu infrastruktur utama guna memacu pertumbuhan ekonomi yang berujung meningkatnya kesejahteraan rakyat.
Namun pada saat yang sama, PLN dibiarkan menyelesaikan bermacam persoalan yang membelit. Celakanya, masalah berujud harga batubara khusus DMO sepenuhnya berada di luar kontrol manajemen. Lebih celaka lagi, kontrol itu justru sepenuhnya berada di tangan pemerintah.
Tapi, kenapa dengan entengnya Jonan menyarankan agar PLN bernegosiasi B to B dengan para petambang. Mungkin pak menteri mesti diingatkan lagi, bahwa bagi petambang, batubara adalah komoditas yang menghasilkan keuntungan. Kalau laba bisa dikerek tinggi-tinggi, kenapa pula harus rela mengurangi untuk kepentingan negeri, walau barang sedikit?
Soal batubara yang jadi biang kerok jelas bola sepenuhnya ada di tangan Pemerintah. Ini bisa dimulai dengan mengubah paradigma, bahwa batubara bukanlah semata-mata komoditas belaka. Ia adalah sumber energi yang sangat penting untuk menggerakkan perekonomian dengan segala multplier effect-nya.
Tapi baiklah, kita paham betul bahwa betapa banyak hal simple menjadi rumit di tangan para pejabat publik. Terlalu banyak kepentingan yang bermain, termasuk kepentingan pribadi dan kekuasaan di belakang tiap kebijakan yang diambil.
Meski begitu saya percaya, masih ada merah putih mengalir di dalam darah Jonan. Jadi, kita tunggu saja keputusan beraroma merah putih dari dia. Dengan begitu, rakyat tidak perlu bertanya; apa gunanya ada Pemerintah? (*)
Jakarta, 6 Februari 2018
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)