Oleh: Roni Tabroni*
Dua organisasi jurnalis Islam yaitu Forum Jurnalis Muslim (Forjim) dan Jurnalis Islam Bersatu (Jitu) baru saja menyelesaikan agenda pentingnya yaitu Kongres. Kegiatan tersebut menandai semakin bergairahnya pers Islam di Indonesia yang digawangi jurnalis-jurnalis handal di bawah organisasinya yang semakin kuat.
Baik Forjim maupun Jitu memiliki misi mulia di tengah beratnya tugas untuk mengembangkan dunia jurnalisme Islam di tanah air yang begitu dinamis. Bahkan masih segar dalam ingatan bagaimana puluhan media Islam online diberangus pemerintah yang menimbulkan tanya sampai kini.
Kehadiran dua organisasi ini sesungguhnya masih baru di jagat jurnalisme Indonesia. Dibutuhkan waktu untuk menguatkan secara kelembagaan dengan melakukan konsolidasi dan koordinasi di kalangan internal, media-media Islam yang ada, juga berbagai lembaga terkait lainnya.
Namun demikian, kita pun berharap banyak kepada dua lembaga ini, karena secara the facto banyak di antara pengurusnya yang sesungguhnya sudah malang melintang di dunia jurnalistik, baik di media Islam maupin media umum sebelumnya. Bekal pengalaman yang matang di dunia media ini akan menjadi alasan mempercepat kemajuan dan matangnya lembaga ini.
Perihal mendesaknya mematangkan lembaga ini, dikarenakan secara kasat mata kini semakin berkembangnya media massa Islam baik dalam format cetak, elektronim (khususnya tv digital), terlebih media online. Keberadaan media-media Islam ini harus dibarengi oleh semakin meningkatnya kuantitas dan kualitas jurnalis Islam.
Secara kelembagaan, media massa Islam dituntut untuk semakin memperkuat dirinya karena beberapa alasan: pertama, kencangnya gelombang Islamphobia yang menjadikan media sebagai agen propagandanya. Jika media Islam tidak kuat maka citra Islam semakin memburuk dan akhirnya perang informasi dimenangkan oleh mereka. Kedua, tuntutan keberimbangan informasi. Kehadiran medi Islam sebenarnya mengembang misi penting yaitu membangun peradaban dunia yg lebih baik, tetapi pada jangka pendek media Islam ini memiliki tugas untuk membangun keberimbangan informasi agar publik tidak terbodohi oleh konten-konten yang sepihak khususnya terkait isu-isu keagamaan.
Ketiga, ada tuntutan bahwa media Islam pun diharapkan dapat meningkatkan kualitas demokrasi khususnya di Indonesia. Pola pemberitaan dan tradisi informasi yang dibangun diharapkan semakin menumbuhkan pola fikir dan perilaku produktif agar masyarakat turut berpartisipasi dalam menguatkan makna pembangunan di wilayahnya masing-masing.
Menjawab tantangan tersebut, media Islam secara kelembagaan diharapkan dapat memprioritaskan penguatan pada beberapa aspek: pertama, penguatan SDM. Dalam banyak kasus, jurnalis media Islam perlu ditingkatkan kemampuan jurnalismenya baik secara filosofis maupun secara teknis. Bahwa menjadi jurnalis di media Islam perlu totalitas, harus berkualitas dan memiliki integritas yang tinggi. Bukan saatnya lagi menjadi jurnalis di media Islam hanya sekedar sampingan atau iseng.
Kedua, idiologisasi Islam bagi jurnalisnya. Bahwa menjadi jurnalis di media Islam bukan semata persoalan teknis (menulis berita kemudian diberi gaji dan habis urusan). Menjadi jurnalis di media Islam adalah sebentuk jihad di wilayah media yang memiliki nilai dan pengorbanan sangat tinggi. Jurnalis Islam tidak melulu mencari materi, tetapi juga dakwah kemanusiaan untuk peradaban yang lebih baik.
Ketiga, kesejahteraan yang memadai. Walaupun kesejahteraan bersifat relatif, tetapi kesejahteraan merupakan aspek yang harus dicari solusinya. Sebab aspek ini sangat berkorelasi dengan aspek profesionalisme yang berujung pada kualitas media Islam. Tetapi juga bukan berarti bahwa menjadi jurnalis Islam kemudian mencari kesejahteraan semata dan mengabaikan idiologi. Kesejahteraan juga diharapkan tidak dipertentangkan dengan keikhlasan.
Keempat, aspek modal. Secara umum media Islam kalah bersaing karena modal. Tetapi seiring dengan peningkatan kualitas diharapkan hadirnya insan-insan yang peduli yang dapat memperkuat media Islam dengan modalnya. Walaupun demikian sesungguhnya juga ada potensi dana ummat yang sampai saat ini belum tergali dengan optimal, seperti zakat/infaq untuk kepentingan dana dakwah via media.
Keempat, konten yang berkualitas. Konten media Islam secara umum perlu ditingkatkan lagi baik dari sisi pengangkatan materi, pemilihan objek liputan, cara memframing sebuah objek, mengambil sudut pandang, teknik laporan mendalam dan investigasi, pemilihan narasumber, sampai aspek diksi dan ilustrasi.
Pada dasarnya media Islam termasuk yang khas. Secara umum agak sulit disamakan dengan media lainnya. Tetapi, jika kembali pada tujuan utama media yaitu mempengaruhi orang lain dan melakukan edukasi, maka secara konsep dan praktisnya perlu ada pembenahan.
Karenanya, baik Forjim maupun Jitu, sesungguhnya memiliki banyak PR dalam membangun dunia media Islam di tanah air. Selain pembenahan kelembagaan, pembuatan sejumlah regulasi, juga aspek pendukung teknis lainnya yang dapat membangun media Islam yang berwibawa.
Kedua lembaga ini dapat melakukan dialog terbuka, melakukan perjuangan politik, penguatan modal, hingga peningkatan kualitas jurnalis dengan berbagai aktivitas training dan pemagangan. Semuanya dapat dilakukan secara mandiri maupun bersinergi dengan lembaga-lembaga terkait termasuk Perguruan Tinggi. Wallahu'lam. [syahid/voa-islam.com]
Penulis adalah Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah