Oleh: Hana Annisa Afriliani, S.S (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Isu tentang LGBT kembali naik daun pasca ditolaknya pengajuan judicial review pasal 284,285,dan 292 KUHP oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Banyak kalangan menilai bahwa keberadaan pasal-pasal tersebut memberi peluang bagi pelaku zina dan LGBT untuk semakin eksis. Dengan ditolaknya judicial review tersebut, maka bertambahlah kecemasan rakyat atas semakin merebaknya kemaksiatan di negeri ini. Bagaimana tidak, keberadaan pasal-pasal tersebut secara nyata tidak mampu menyentuh semua jenis perilaku zina.
Dalam pasal 285 KUHP dinyatakan bahwa yang akan terkena delik kriminal adalah persetubuhan yang dilakukan oleh pasangan yang statusnya sudah menikah, baik salah satunya maupun keduanya. MK menolak ajuan permohonan perluasan objek hukum sebagaimana yang diajukan pemohon, yakni agar menjerat juga pasangan yang belum menikah alias remaja. Alasan penolakan MK adalaj jika diperluas, maka akan berubah bukan lagi delik aduan melainkan delik biasa.
Sementara dalam pasal 292 KUHP dinyatakan bahwa yang akan terjerat kriminal adalah anak dibawah umur yang melakukan hubungan seksual sejenis. MK menolak ajuan perluasan objek pada orang dewasa sejenis.
Secara konstitusi, MK memang tidak memiliki kewenangan untuk melakukan perluasan objek hukum pada pasal yang sudah ada. Karena akan melahirkan produk hukum baru yang berbeda dengan yang sudah ada. Menurut pasal 25 (c) UUD 1945, wewenang Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bukan mengeluarkan produk hukum baru. Sementara hak membuat hukum ada di tangan lembaga legislatif dan eksekutif.
Liberalisme Sekukerisme Pencipta LGBT
Tidak adanya produk hukum yang dapat menjerat para pelaku LGBT merupakan akibat dari diterapkannya sistem sekuler liberal di negeri ini. Dan memang sejatinya kebebasan berperilaku tersebut legal dipayungi sistem demokrasi. Wajar jika LGBT makin gawat unjuk syahwat. Padahal Betapa mengerikan dampak yang ditimbulkan karena adanya perilaku seks menyimpang tersebut di antaranya sipilis dan HIV AIDS.
Anggota Perhimpunan Dokter spesialis penyakit kulit dan kelamin, Dewi Inong Irana, dalam acara diskusi di program ILC TVOne menyatakan bahwa penularan terbanyak HIV/AIDS adalah hubungan seksual lewat dubur. Beliau kemudian mengambil data dari Kementerian Kesehatan Amerika, CDC, bahwa sebanyak 55 persen dari penderita AIDS di Amerika adalah pelaku LGBT.
Mirisnya kini di Indonesia, penyakit HIV AIDS kian meningkat seiring dengan semakin banyaknya pelaku LGBT. Bukan lagi rahasia, LGBT kini semakin terbuka. Tidak lagi malu-malu menunjukkan jati diri bahkan nekad pertahankan eksistensi. Berlindung di balik hak asasi dan berdalih bahwa itu merupakan takdir yang harus dijalani.
Tentu kita masih ingat pada Mei lalu terjadi penggerebekan di sebuah ruko di Kelapa Gading, Jakarta Utara, karena terindikasi adanya pesta seks gay di sana. Benar saja, didapati ratusan pria nyaris bugil di lokasi penggrebekan. Begitu pun di sebuah hotel di surabaya, terjadi penggerebakan oleh polisi beberapa waktu lalu. Kemudian ditemukan 14 orang pasangan gay. Dari hasil tes Infeksi Menular Seks (IMS) ditemukan fakta mengejutkan bahwa lima dari 14 orang peserta pesta seks gay itu positif mengidap Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Tak hanya itu, pasangan LGBT yang meresmikan hubungan mereka dengan menikah pun mulai dipraktekkan di negeri ini. Salah satu yang viral adalah pasangan gay yang menikah di hotel Ubud di Bali pada 2015 silam. Publik geger karena hal itu sukses menabrak ketabuan di negeri ini. Namun akhirnya, setelahnya muncul kasus serupa, pernikahan sejenis sukses dilangsungkan dengan cara memalsukan data pribadi ke KUA.
Betapa perilaku seks menyimpang telah menodai budaya ketimuran di negeri ini. Bercokolnya liberalisme sekuler menjadi penyebab utama penyimpangan seks kian meningkat. Secara sistemik seolah penyimpangan tersebut ingin dikampanyekan sebagai sebuah bentuk kebenaran. Bahkan penguasa negeri ini pun turut melindungi. Salah satunya muncul dari pernyataan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifudin bahwa LGBT harus dirangkul dan diayomi. Jelas saja kaum LGBT makin merasa benar atas pernyataan penuh pembelaan kepada mereka tersebut.
Padahal sejatinya Islam mengharamkan perilaku zina dengan segala bentuknya, termasuk LGBT. Islam mengistilahkan kaum homoseks dengan liwath. Tak tanggung-tanggung, sanksi yang akan diberlakukan terhadap pelaku liwath adalah hukuman mati yakni dijatuhkan dari gedung tertinggi di wilayah tempat tinggal pelaku. Itulah cara Islam menjaga kemuliaan manusia dari perilaku yang dimurkai Allah.
Dengan ketegasan sanksi Islam atas pelaku LGBT tersebut, maka dapat dipastikan bahwa perbuatan tersebut akan punah. Selain cara kuratif tersebut, Islam juga melakukan cara prefentif, yakni dengan penanaman akidah Islamiyah yang benar terhadap setiap individu. Sehingga setiap individu akan menyandarkan setiap perbuatannya pada hukum syara saja, bukan keinginan hawa nafsunya.
Hentikan LGBT, Hempaskan Liberalisme
Sejatinya setiap muslim wajib terikat dengan hukum syara. Tidak ada kebebasan dalam bertingkah laku sebagaimana orang-orang kafir barat mengadopsinya. Kebobrokan moral akan menggerus tubuh generasi bangsa ini manakala liberalisme terus dipertahankan. Tidak ada solusi efektif selain menghempaskan ide-ide liberal tersebut ke tempat sampah peradaban. Sungguh hanya sistem Islan yang mampu menuntun umat manusia menuju kehidupan yang selamat dan diliputi keberkahan.
“Tidaklah pantas bagi seorang lelaki yang beriman, demikian pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36). [syahid/voa-islam.com]