View Full Version
Kamis, 01 Feb 2018

Tradisi Menambahkan Lafadz SAW dan SWT

Oleh: Fadh Ahmad Arifan

(Guru Sejarah Kebudayaan Islam di MTs Muhammadiyah 2 Malang)

Jika menghadiri sebuah konferensi, acara kedinasan dan majlis taklim ada salah satu pembicara atau narasumber yang menyebut nama Nabi Muhammad saw, seringkali saya mendengar sebagian peserta yang hormat dan cinta Nabi Muhammad spontan mengucap “Shallahu’alahi…”. Intinya bershalawat tiap nama ayahanda Siti Fatimah Az-Zahra itu disebut-sebut.

Tradisi bershalawat seperti ini merupakan wujud dari pengamalan surah al-Ahzab ayat 56:“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang beriman, bershalawatlah kamu untuknya dan bersalamlah yang sempurna”. Menurut sabda Nabi orang yang malas mengucap shalawat tergolong orang bakhil. “Orang yangbakhiladalah orang yang apabila aku disebut, dia tidakmembaca shalawat kepadaku.” (HR. At-Tirmidzi).

Bacaan shalawat untuk Nabi muhammad ada dua tempat : di dalam shalat dan di luar shalat. Shalawat yang ada di dalam shalat tidak ada satupun yang memakai lafadz “sayyidina”. Adapun bacaan shalawat di luar shalat, tidak ada ketentuan dari Nabi Muhammad, tetapi sedikitnya kita mengucap :”Allahumma Shalli ‘ala Muhammad” (A. Qadir hassan, Kata Berjawab: Solusi untuk Berbagai Permasalahan Syariah, hal 831-832).

Setiap kali umat Islam membaca shalawat atas Nabi Muhammad, akan dibalas oleh Allah SWT 10 kali lipat shalawat dan dihapus 10 kesalahan serta diberikan 10 macam pahala (Lihat Muhammad Alfis Chaniago, Indeks Hadits dan Syarah jilid 2, CV Pustaka Qalbu, 2014)

Penghormatan kepada Nabi Muhammad juga merambah ke dunia literatur dalam hal ini kitab turats maupun penulisan buku-buku keislaman. Predikat atau lafadz Shallahu’alaihi wasallam (SAW) selalu ditambahkan dibelakang nama beliau. Pertanyaannya adalah Siapa yang pertama kali mempelopori penambahan lafadz tersebut?

Ulama Thahir ibn Asyur dan al-Qadhi iyadh seperti dikutip oleh Prof Dr Quraish shihab menyatakan penulisan nama nabi Muhammad yang selalu diikuti lafadz Shallahu’alaihi wasallam (SAW) muncul sejak abad IV hijriyah. Kitab tafsir dan hadis sejak abad tersebut mulai menambahkan lafadz Shallahu’alaihi wasallam (SAW).

Rupanya yang mempelopori tradisi ini adalah ulama hadis. Bukan hanya nama Nabi Muhammad, An-Nawawi juga menganjurkan untuk menambahkan kata untuk lafadz Allah dengan “Azza wa Jalla”, “Ta’ala” atau “Subhanahu wa Ta’ala” (SWT). Kalau seseorang menyalin dari suatu buku/kitab yang tidak mencantumkan lafadz tersbut, maka sebaiknya penyalin mencantumkan. “Seseorang hendaknya jangan bosan mengulanginya, siapa yang mengabaikan hal ini, maka dia telah luput meraih kebaikan yang banyak,” Begitu tulis an-Nawawi dalam muaqddimah Shahih muslim (Tafsir al-Misbah Volume 11, hal 315-316)

Tradisi mencantumkan atau menambahkan lafadz SAW untuk Nabi Muhammad dan lafadz SWT untuk Allah tidak akan diperbolehkan dalam pengkajian Islam di kampus Barat. Jangankan lafadz tersebut, saat mencantumkan kalimat “bismillahirrahmanirrahim” sebagai permulaan menulis artikel dalam jurnal juga dilarang.

Pelarangan ini dimaksudkan untuk menegaskan adanya netralitas dalam jurnal tersebut, yang menempatkan Islam cuma sebagai disiplin akademis. Bukan sebagai suatu ajaran yang diimani (Djoko susilo, Kontroversi Pusat pengkajian Islam di Barat, Suara Muhammadiyah 15-31 Maret 1997,. Hal 43). [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version