Sahabat VOA-Islam...
SIAPA SANGKA, pilkada DKI tahun silam malah menyisakan kisah kelam. Kekalahan satu pasangan calon berbuntut pada tekanan yang kian menjadi terhadap komunitas muslim. Keberhasilan dakwah yang terbukti pada meningkatnya taraf pemahaman masyarakat, seperti masalah kepemimpinan, tak urung menjadi momok tersendiri bagi segelintir pemuja kekuasaan.
Seolah tak ingin keberhasilan terus berlanjut, persekusi digencarkan terhadap gerakan dan individu muslim yang getol menyuarakan kebenaran. Dalihnya, merongrong NKRI dan kebhinekaan. Bahkan, berpegang teguh terhadap ajaran agama seperti menolak menyediakan ucapan natal oleh sebuah toko kue pun kini berujung pada aksi bully.
Dicap rasis, atau bahkan disebut sebagai politik identitas ekstrem yang berujung pada segresi dan enklavisasi sosial seperti yang disampaikan sosiolog Universitas Negeri Jakarta. Aktivis aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika juga menilai sikap tersebut menentang realitas keberagaman dengan tidak toleransi terhadap perbedaan.
Sadar atau tidak, klaim buruk semacam itu - baik oleh rakyat biasa, pemikir, maupun pemangku kekuasaan - semakin menunjukkan hilangnya identitas diri negeri ini. Mengaku menjunjung nilai agama di satu sisi, dan menjadikannya dasar falsafah, tapi di lapangan fakta tak menunjukkan hal serupa. Ketakutan tak berdasar akan politik identitas menggagas mereka untuk bersegera mengeluarkan kebijakan yang bisa menjamin eksistensi kekuasaan.
Istilah 'moderat' makin digulirkan di tengah masyarakat demi meraih opini yang seragam bahwa Islam 'jalan tengah' sudah cocok dengan kondisi dalam negeri. Tidak liberal, tidak juga saklek alias kaku. Dan dalam aksinya, istilah tersebut seringkali dibenturkan dengan Islam fundamentalis. Islam yang identik dengan kekerasan dan radikal berkonotasi negatif. Konflik di Timur Tengah yang tak kunjung usai, dijadikan patokan betapa berbahayanya realisasi Islam fundamentalis tersebut
Padahal yang sebenarnya terjadi, upaya moderatisasi adalah jebakan batman yang hanya menghantarkan pada pengaburan substansi Islam itu sendiri. Mengikis sedikit demi sedikit pemahaman kaum muslimin terhadap ajaran dan keyakinan nya. Hingga tanpa sadar, aqidah pun turut terancam.
Tidak berhenti sampai disini, kesesatan berpikir yang menjerumuskan makin dihembuskan melalui anjuran anjuran kasat mata. Seperti halnya pemisahan agama dari politik, atau penghapusan sekat pemahaman agama demi menghindari konflik horizontal. Tentu saja hal ini tidak bisa diterima akal. Eksistensi agama bukanlah subjek yang bisa dijadikan kambing hitam kerusuhan dalam negeri. Justru sebaliknya, tanpa agama perpolitikan akan berjalan amoral. Pendidikan dan perekonomian pun bisa dipastikan semakin liberal.
Menghadapi sikap penghulu negeri yang mengkerut ketakutan semacam ini, maka tidak ada jalan lain bagi umat selain memperkuat identitas diri sebagai seorang muslim. Baik pola pikir maupun pola sikapnya. Taraf berpikir yang tinggi secara otomatis akan mendorong umat untuk bersikap kritis sehingga tidak mudah dibodohi. Kecerdasan ini pula yang perlahan akan membentengi umat dan memberikan kekuatan dalam menghadapi hegemoni asing yang sepertinya sengaja dipertahankan.
Di samping itu, tali syara' yang sudah melekat pada individu yang telah mengukuhkan diri sebagai muslim harus semakin dipererat. Tidak boleh longgar meski untuk satu aspek pun. Sehingga setiap komponen yang menopang kemaslahatan bisa berjalan dengan imbang tanpa goresan cacat. [syahid/voa-islam.com]
Kiriman Maya. A, Gresik