Oleh: Suhaeni, SP., M.Si (Anggota Komunitas Revowriter)
Akhir-akhir ini sangat marak sekali perbincangan tentang isu LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender), baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Sebenarnya isu ini sudah berkembang sejak beberapa tahun lalu. Tengok saja tentang kasus perkawinan sejenis yang terjadi di Bali. Selain itu pula, muncul perkawinan sejenis yang terjadi di Boyolali Jawa Tengah. Isu yang menyeruak ini mengandung pro dan kontra di masyarakat. Banyak kalangan yang menolak, tapi tidak sedikit pula yang mendukung dengan alasan hak asasi manusia (HAM).
Isu LGBT ini mengundang rasa geram dan marah dari berbagai kalangan. Baik akademisi, praktisi kesehatan, tokoh agama maupun dari kalangan ibu rumah tangga. Menurut survey CIA Tahun 2015 yang dilansir topikmalaysia.com jumlah populasi LGBT Indonesia adalah ke-5 terbesar di dunia setelah China, India, Eropa dan Amerika. Selain itu pula, beberapa survey indepnden baik dalam negeri maupun luar negeri bahwa Indonesia memiliki 3% penduduk LGBT. Artinya, jika jumlah penduduk Indonesia sekarang kurang lebih 250 juta jiwa, maka sekitar 7,5 jutanya adalah LGBT. Lebih sederhananya, dari 100 orang 3 diantaranya adalah LGBT.
LGBT dalam perspektif Hak Asasi Manusia, apakah layak untuk dilindungi?
Kalangan yang pro terhadap LGBT menyatakan bahwa negara dan masarakat harus mengkampanyekan gerakan non diskriminisasi antara laki-laki, perempuan, transgender, pecinta lawan jenis (heteroseksual) maupun penyuka sejenis (homoseksual). Para pendukung kaum LGBT ini menggunakan pemenuhan hak asasi manusia sebagai dasar tuntutan mereka dengan menyatakan bahwa orientasi seksual adalah hak asasi manusia bagi mereka dan perlu untuk dilindungi.
Sementara yang kontra, menilai bahwa LGBT adalah bentuk penyimpangan tidak masuk dalam konsepsi HAM. Dalam hal ini, negara dan masyarakat perlu melakukan upaya preventif untuk mencegah agar virus LGBT tidak menyebar. Jika menyebar maka akan membahayakan terhadap generasi masa depan bangsa. Disinilah pentingnya peranan pemerintah sebagai pembuat regulasi. Karena jika LGBT ini dibiarkan, selain merusak bangsa, juga bisa menyebabkan disintegrasi bangsa.
Berkembangnya isu LGBT di Indonesia tentu tidak bisa dipisahkan dari fenomena LGBT internasional. Pada tahun 2011, PBB mengeluarkan resolusi tentang pengakuan hak-hak kaum LGBT, yang diikuti dengan pengakuan komisi hak asasi manusia PBB, yang mendokumentasikan pelanggaran dari orang-orang LGBT salah satunya diskrimisasi. Berdasarkan laporan tersebut, maka Komisi Hak Azasi Manusia PBB mendesak kepada seluruh negara untuk memberlakukan hukum yang melindungi hak-hak LGBT. Pengakuan PBB atas hak-hak LGBT ini seolah menjadi angin segar bagi mereka. Inilah yang menjadi landasan kaum LGBT maupun pendukungnya menuntut hak-hak mereka dengan mengatasnamakan hak azasi manusia.
Namun demikian, ketika kita berbicara tentang HAM, maka tidak akan pernah lepas dari hukum dan falsafah suatu negara. Di Indonesia, jelas sangat bertentangan dengan Pancasila pada sila ke-1 yang menyatakan tentang “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Bahkan di setiap ajaran agama manapun menolaknya. Dengan demikian, sangat tidak layak perilaku kaum LGBT untuk dilindungi, terutama di negeri yang azas dasarnya berketuhanan yang Maha Esa.
Apalagi di Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam. Islam sangat keras hukumannya terhadap para pelaku LGBT. Allah menamakan perbuatan ini sebagai perbuatan yang keji dan melampaui batas. Sebagaimana Firman Allah berikut ini:
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu. Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (TQS. Al ‘Araf: 80-81).
Allah sudah memberikan pelajaran kepada kita lewat sejarah kaum Sodom, kaum yang ingkar terhadap Nabi Luth. Allah mengazabnya dengan sangat pedih.
“Maka kami jadikan bagian atas kota itu terbalik ke bawah dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras”. (TQS. Al-Hijr:74)
Jika di negeri kita yang tercinta ini sampai dilegalkan prilaku tersebut, berarti dengan terang benderang menantang dan menghalalkan azab Allah menimpa negeri ini. Tak cukupkah pelajaran yang menimpa kaum Nabi Luth?
Secara fitrah, Allah telah menciptakan manusia dengan dorongan naluri dan kebutuhan jasmaninya sepaket dengan aturan untuk mengaturnya. Salah satu dorongan naluri manusia adalah naluri melestarikan keturunan, diantara adanya rasa cinta dan dorongan seksual antara lawan jenisnya. Tujuan diciptakan naluri ini tentu untuk melestarikan keturunan dan hanya bisa dilakukan dengan pasangan. Bagaimana jadinya jika naluri untuk melestarikan keturunan dilakukan dengan pasangan sejenis? Jelas ini sudah bertentangan dengan fitrah manusia.
Akar permasalah LGBT ini tidak lepas dari ideologi sekuler yang diterapkan saat ini. Masyarakat sekuler hanya akan memandang laki-laki dan perempuan hanya sebatas hubungan seksual semata. Oleh karena itu mereka tidak akan merasa bersalah ketika melakukan hal-hal yang menyimpang dari ajaran agama. Satu-satunya cara untuk menyelasaikan permasalahan ini adalah dengan membuang jauh-jauh sistem sekuler dan menggantinya dengan Syariat Islam. Wallahu a’lam bishawab.