View Full Version
Ahad, 18 Feb 2018

Negara Menjadi Pilar Besar Pemutus Mata Rantai LGBT

Sahabat VOA-Islam...

LGBT (Lesbian Gay Bisexual and Transgender) merupakan isu yang akhir-akhir ini semakin mencuat ke permukaan, menjadi bahan diskusi yang tidak pernah selesai dari berbagai kalangan dengan latar belakang yang berbeda. Perempuan berperilaku seperti lelaki dan sebaliknya.

Perempuan memiliki orientasi seksual pada sesamanya, lelakipun demikian, Operasi transgender (pergantian jenis kelamin) pun kemudian didengungkan sebagai bagian dari hak yang tidak bisa ditawar. Barangkali masih dipandang menjijikkan bagi sebagian besar masyarakat, namun dengan gerakan mereka yang masif dalam mengkampanyekan faham, mau tidak mau upaya untuk membendung pun juga harus lebih besar. Terlebih pergeseran cara memandang perilaku mereka pun turun mendobrak keberanian mereka untuk percaya diri tampil di tengah masyarakat.

Penyebab dari LGBT hingga sekarang masih debatable, penelitian yang ada pun cenderung subyektif dalam menilai dan menyimpulkan riset mereka sehingga menimbulkan bias sekaligus menjadi metode pembenaran bagi mereka yang berkepentingan di dalamnya. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa LGBT bukan termasuk mental illness (penyakit mental) dan beberapa memasukkannya ke dalam kategori mental illness.

Seorang pskiater dari Kolombia, Dr. Robert Spitzer, pada tahun 1973 menjadi salah satu pejuang dalam mengeluarkan LGBT dari salah satu daftar penyakit kelainan mental. Namun seiring berjalannya waktu, pada tahun 2003 ia mempublikasikan hasil penelitiannya yang mencengangkan. Penelitiannya terhadap 200 homo yang sudah diterapi menunjukkan keberhasilan dalam perubahan orientasi seksual. Dengan kata lain, LGBT adalah salah satu kelainan yang tidak bersifat permaneh dan bisa disembuhkan.

LGBT pun bukan masalah genetik. Jikalau benar demikian, maka para pegiat LGBT memiliki masalah congenital (kelainan genetik) yang dibawa semenjak lahir. Namun, menurut pakar spesialis dan ahli syaraf, Dr. Taruna Ikrar, M.D. M.Pharm, PhD. Division Neurobiology University of Califorrnia mengatakan bahwa struktur kromosom mereka normal, seperti kebanyakan laki-laki dan perempuan kebanyakan. Dia juga menambahkan bahwa struktur otak makro laki-laki, perempuan dan pegiat LGBT pun tidak memiliki perbedaan sama sekali. Jadi hipotesis paling mendekati sempurna untuk penyebab LGBT adalah mental dan persepsi yang mengubah cara mereka berperilaku.

Dalam pandangan agama manapun, LGBT merupakan kemasiatan besar karena sudah melawan kodrat manusia itu sendiri. Dalam Islam khususnya, LGBT bukanlah kelainan yang baru dialami manusia di era milenial ini. Kitab Al-Quran pun mengabadikan kisah ini menjadi kisah yang dahysat. Ini artinya, bentuk kemaksiatan ini sudah mulai ada ribuan abad sebelum masehi. Kaum nabi Luth menjadi sumber pelajaran berharga bagi manusia saat ini betapa kelainan ini akan merebak tidak sekedar pada satu komunitas,  namun bisa lebih besar lagi. Nabi Luth a.s tidak pernah lengah mengingatkan, meski pada akhirnya kaum Nabi Luth tetap tak bergeming dan memilih untuk bahagia dalam perbuatan kejinya.

“Sesungguhnya kamu mendatangi kaum laki-laki untuk melepaskan nafsumu, bukan kepada wanita, kamu adalah kaum yang melampaui batas” (Al-A’raf : 81).

 

Hukum Islam; Salah Satu Pemutus Mata Rantai LGBT

Berdasarkan teori perubahan perilaku, Bandura dalam Social Foundations of Thoughts and Action menjelaskan bahwa perilaku manusia setidaknya dipengaruhi dua hal utama, personal factors dan environmental factors. Personal factors mencakup persepsi seseorang terhadap sesuatu. An-Nabhani dalam Kitab Nidhamul Islam pun menjelaskan sederhana bagaimana besarnya faktor personal, khususnya persepsi terhadap penilaian sesuatu sehingga ketika berkeinginan mengubah perilaku seseorang mutlak memperbarui cara berpikirnya. Sementara faktor lingkungan – teman, orang tua, tetangga, sistem sosial – menjadi pendukung atas faktor personal.

Beraninya kaum LGBT mengakui eksistensinya merupakan evaluasi bersama. Personal factors di negara ini yang sedang bermasalah ataukah environmental  -nya yang tengah bermasalah. Masalah LGBT merupakan tanggung jawab bersama; individu yang saling mengingatkan, sistem sosial yang tegas terhadap keberadaan mereka dan negara yang menindak setiap pelakunya.

Ketiganya mejadi pilar dalam mengubah point of view dari pelaku LGBT serta mencegah meluasnya gaya hidup yang salah pada masyarakat. Mengingat bahwa faktor lingkungan menjadi faktor paling besar yang mempengaruhi keberadaan mereka, maka negara mutlak memiliki sikap yang tegas terhadap gerakan Pelangi (LGBT) ini, yakni dengan memberi sanksi tegas. Dengan berkaca pada hukum Islam, maka Gerakan Pelangi ini menjadi satu kejahatan yang tdiak bisa ditelorir.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang kalian dapati sedang melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah; pelaku dan objeknya." HR. Abu Daud no.4462 dan Tirmidzi no.1456 dan Ibnu Majah 2561 dan Ahmad. Syaikh al-Albani menerangkan bahwa hadits itu Hasan Shahih 

Tentu saja tindakan tegas ini menjadi opsi terakhir setelah upaya pengubahan secara personal , baik itu nasihat dan ancaman sudah tidak berlaku. Tidak bisa dilakukan oleh seorang individu, namun harus dilakukan oleh orang yang memiliki wewenang di dalamnya. Karena itu, eksistensi gerakan mereka bergantung pada bagaimana negara mepersepsikan keberadaan status mereka. Negara menjadi penentu terakhir hukuman terbaik bagi mereka.

Tentu tak sekedar hukuman, namun juga ancaman bagi mereka yang ingin melalukan. Dengan begini, rantai pelangi akan terputus. Berbeda hal jika negara abai dan tidak mau tahu. Publik pun terus dibuat bertanya-tanya akankan negara ini bersikap tegas pada mereka atau justru menutup mata atas keberadaan mereka?

Tidak beranikah negara ini setegas Somalia yang menghukum mati para pelakunya? Wallahu ‘alam bi ash-shawwab. [syahid/voa-islam.com]

Kiriman Meyra Kris Hartanti, S.K.M, Ibu Rumah Tangga dan Praktisi Kesehatan


latestnews

View Full Version