Oleh: Kurdi At Tubany
Pilkada yang akan diikuti 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota pada Rabu, 10 Januari 2018 memasuki babak baru. Sesuai dengan jadwal Komisi Pemilihan Umum (KPU) momen tersebut adalahtanggal terakhir pendaftaran peserta pemilihan kepala daerah (pilkada).
Dari tanggal tersebutlah kita akhirnya bisa secara final mengetahui peta konstelasi politik daerah yang juga merupakan cermin dari perpolitikan kita di level nasional.
Berbagai dinamika politik yang mengemuka di level partai politik pada medio 2017, terutama pada issue keberpihakan pada kepentingan Islam dan ummat Islam akhirnya mendapatkan jawabanya pada rabu, 10 Januari 2018. Yakni bahwakita mendapati bahwa aspirasi politik ummat Islam tidak terakomodasi dalam partai politik yang ada di negeri ini, baik itu yang mengaku sebagai partai politik Islam maupun yang bukan.
Membaca Aspirasi Politik Ummat Islam
Tidak bisa dipungkiri bahwa momentum 212, momentum pembelaan atas penistaan Al Qur’an, telah memberikan arah konsolidasi gerakan (politik) ummat Islam di tanah air. Momentum bersatunya ummat Islam kembali mewujud dalam aksi 299 pada momentum perlawanan atas penerbitan Perppu Ormas oleh rezim. Dari aksi 299 ini kemudian muncul seruan tidak memilih partai politik pendukung perppu ormas yang notabene juga merupakan pendukung penista agama.
Aspirasi tidak memilih partai politik pendukung perppu ormas-penista agama terus bergulir dalam momentum pilkada 2018 ini. Lewat organ semisal Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF-Ulama) dan/atau Presidium Alumni 212 sebagai lokomotifnya, aspirasi ini terus bergulir menyasar elit-elit partai politik di Tanah Air.
Melalui pernyataan sikap resmi yang dibacakan secara terbuka dihadapan majelis-majelis, pengajian dll maupun lewat berkirim surat secara resmi yang ditujukan kepada partai politik yang ada juga telah dilakukan. Semua ini dilakukan dengan harapan bahwa ada arah berpolitik bagi para partai penolak perppu-penista agama dan juga harapan adanya perubahan sikap dari partai politik pendukung penista agama-perppu ormas.
Namun ternyata di awal tahun 2018 ini semua aspirasi tersebut tak bersambut. Hal ini bisa dibaca dengan jelas bagaimana koalisi-koalisi yang terbangun pada kontestasi pilgub-pilbup-pilwali lebih banyak didominasi oleh kepentingan politik jangka pendek, yang penting mendukung siapa yang berpotensi menang dengan serta merta melepaskan visi perjuangan keumatan-keislaman yang sebelumnya rutin dilisankan.
Di Pilgub Jatim, kita temukan PKS berkoalisi dengan PDIP, di Pilgub Sumatera Utara kita temukan Gerindra berkoalisi dengan Nasdem dan Golkar belum lagi bicara di level pilkada Kota/Kabupaten.
Disinilah kita menemukan ketidaknyambungan antara Parpol dan aspirasi Ummat. Ummat menginginkan A, parpol melakukan B.
Perubahan Hakiki
Dari fakta konstelasi politik di pilkada 2018 ini maka sudah saatnya bagi ummat untuk melepaskan diri dari partai politik ketika berbicara perubahan dan membuat jalur perubahan sendiri. Aksi 212, menurut hemat penulis, merupakan bentuk nyata kekuatan ummat islam tanpa parpol. Lepas dari berbagai isu pinggiran yang ada, Aksi gerakan 212 bisa dikatakan merupakan wujud gerakan yang lahir dan tumbuh besar dari ummat dan yang terpenting adalah dalam kendali ummat. Gerakan 212 akhirnya pun bisa dikatakan sukses meraih apa yang dituju. Ingat, ini semua ditempuh tanpa melibatkan kekuatan parpol secara resmi.
Untuk itu bagi ummat Islam, yang selama ini terus saja terciderai dengan isu radikalisme, intoleransi, persekusi, pembubaran dan ancaman pembubaran ormas islam semisal HTI, FPI dll maka ahsan, untuk menempuh jalan perubahan sendiri bagi hadirnya negeri yang baldatun thoyyibatun warobbun ghofur.
Aksi bersama ummat 212 telah memberikan inspirasi sukses perubahan lewat jalan ummat, dan yang menarik, jalan perubahan lewat ummat ini pun ternyata jika kita mengkaji sirah Nabawiyah juga dilakukan oleh Rosulullah SAW.
Beliau membangun kutlah dakwah dari sedikit demi sedikit yang dibarengi dengan aktivitas mencari nushroh dari para tokoh-tokoh ummat dan pada akhirnya dengan keistiqomahan beliau SAW dan para sahabat akhirnya beliau menerima penyerahan kekuasaan dari penduduk madinah dengan super damai, tanpa darah tercecer sedikitpun.
Saatnya istiqomah meniti jalan nubuwah. [syahid/voa-islam.com]