BANDUNG pun rela ‘mundur’ ke era 1990-an demi sebuah film remaja yang sedang hits saat ini “Dilan 1990”. Film yang diadopsi dari sebuah novel karya Pidi Baiq itu memang didukung oleh walikota Bandung Ridwan Kamil dan didukung oleh masyarakat Bandung karena berlatar belakang Bandung zaman ‘baheula’. Tak heran, film ini pun akhirnya mampu menembus jutaan penonton dalam waktu hanya beberapa hari.
Publikasi dan dukungan penguasa bukanlah satu-satunya faktor yang menyedot masyarakat terutama remaja zaman now untuk berbondong-bondong terhanyut ke dalam diksi romantis yang ditawarkan Dilan. Nyatanya, hampir setiap film-film remaja bertemakan cinta dan romantisme selalu mendapatkan sambutan yang meluap dari masyarakat. Entah karena masyarakat saat ini haus akan imaginasi romantisme di tengah-tengah kesulitan hidup dan kondisi nyata yang melelahkan, ataukah memang terlena dengan hiburan yang menawarkan cerita yang merefleksikan fakta remaja kekinian. Yang pasti, film-film senada semakin dan kian gencar menjamur bertubi-tubi memenuhi atmosfir masyarakat terutama remaja.
Bukan tidak disengaja apabila industri perfilman saat ini semakin mengkhususkan untuk memproduksi film dengan tema-tema yang menarik bagi kalangan muda. Remaja, dengan kisaran usia belasan tahun yang penuh dengan semangat dan cenderung labil, adalah sasaran yang sangat tepat untuk dijadikan konsumen bagi para produser film. Remaja Indonesia, dengan jumlahnya yang berkisar 25% dari total jumlah penduduk Indonesia (BPS, 2015) tentu merupakan pasar yang menggiurkan.
Karena itulah, fenomena remaja saat ini yang sudah demikian bebas, semakin liar dan jauh dari nilai-nilai agama adalah kondisi yang memang dikehendaki oleh para pemilik modal. Industri hiburan di bidang perfilman memiliki andil yang sangat nyata dalam memelihara arus budaya yang saat ini menggerusi pola pergaulan para remaja. Budaya permisif yang sekuler adalah budaya yang senantiasa dicekokkan ke dalam benak anak-anak muda Indonesia yang merupakan asset masa depan, dan terus akan dilakukan demi keberlangsungan hasrat kapitalis dalam menangguk keuntungan yang sebesar-besarnya.
Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Alih-alih menjadi remaja yang seharusnya merupakan generasi masa depan penerus bangsa yang diharapkan mampu bangkit dan memiliki pemikiran revolusioner, malahan menjadi remaja yang alay, lebay dan perayu serta mudah dirayu.
Berbeda dengan kondisi remaja di dalam kepemimpinan Islam. Sebut saja Muhammad Al Fatih, yang telah menjadi seorang pemimpin di usianya yang masih belia. Beliau bahkan telah menaklukkan Konstantinopel yang terkenal tak terkalahkan pada saat menginjak usia 24 tahun.
Di bawah kepemimpinannya kaum Muslimin berhasil menguasai Benteng terkuat pada masa itu. Di bawah sistem kepemimpinan Islam dengan metode pendidikan Islam, potensi remaja sebagai aset masa depan dapat dioptimalkan sehingga mampu mencetak pemuda-pemuda berkualitas semisal Muhammad Al Fatih.
Sungguh amat disayangkan, apabila remaja saat ini kurang peka dan tidak menyadari bahwa dirinya adalah pemegang estafet kepemimpinan di masa depan. Sangat penting bagi kita untuk dapat membangunkan remaja agar tidak tenggelam dalam propaganda kapitalis dan terjebak dalam budaya yang tidak Islami.
Masyarakat harus dapat mengeluarkan sikap kritisnya terhadap serangan budaya dan kepentingan kapitalis yang merasuki remaja melalui industri film maupun cara-cara lainnya. Dilan dan Muhammad Al Fatih adalah dua produk pemuda yang berbeda dengan kualitas yang berbeda. Dan kita saat ini tentu saja lebih membutuhkan para pemuda berkapasitas setara dengan Muhammad Al Fatih bahkan lebih lagi untuk dapat melakukan perubahan yang nyata dan membangun peradaban yang mulia.*
NR. Tambunan
PNS Kementerian Perhubungan dan Alumni University of Lille 1, Perancis