Oleh: Ririn Umi Hanif (Pemerhati Ibu dan Anak, Gresik)
Suriah kembali berdarah. Tujuh tahun berlalu, belum menunjukan bahwa suriah akan damai kembali seperti dulu. Konflik ini dimulai sejak demonstrasi di kota Dharaa, 11 Maret 2011 lalu.
Banyak versi analisa penyebab konflik Suriah. Ada yang menyebutkan masalah Suriah adalah konflik Sunni-Syiah karena Bashar adalah pengikut Syiah, sementara penduduk Suriah mayoritas adalah Sunni. Atau ada yang menyebutkan ini hanya masalah kekuasaan. Yakni Kepanikan rezim karena adanya gerakan oposisi (pemberontak) yang ingin menggulingkan kekuasaannya.
Pihak oposisi (pemberontak) adalah mereka yang menyatakan ingin menggulingkan pemerintahan Assad karena dinilai terlalu banyak korban yang terdholimi, terutama dari pihak Muslim (Sunni). Mereka merasa perlu untuk menggulingkan pemerintahan assad dan menggantinya dengan pemeritahanan baru yang berdasar pada syariat Islam.
Oposisi yang lain, dari kalangan sekuler mengatakan bahwa mereka ingin memberlakukan demokrasi di Suriah yang selama ini terbungkam oleh sistem pemerintahan yang ada.
Kondisi ini diperunyam dengan adanya campur tangan dari pihak-pihak luar Suriah dengan berbagai kepentingannya. Hal ini diawali dengan ancaman Amerika serikat yang akan menyerang Suriah. Ada yang mendukung AS dengan menyediakan pangkalan militer dan segala logistik yang diperlukan (Turki, Arab Saudi dan Qatar). Ada pula yang mendukung rezim jika memang terjadi agresi AS terhadap Suriah (Rusia, China, Iran dan Lebanon).
Apa yang terjadi di Ghouta hari ini, adalah kelanjutan konflik suriah untuk yang kesekian kali. Belum kering darah Aleppo, kini darah mengucur deras dari ribuan umat, khususnya bayi2 yang tak berdosa, di Ghouta, Suriah. Mereka dibombardir oleh ribuan bom yang dijatuhkan rezim kejam dan bengis Bashar Assad yang didukung penuh oleh koalisi jahat Rusia dan Amerika.
Menurut Direktur Observatorium hak azasi manusia yang berbasis di Inggris, Rami Abdel Rahman, sebagaimana yang dilansir AFP, jumat (23/2/2018), Banyak jasad ditemukan di balik reruntuhan bangunan yang hancur dibombardir sejak awal pekan ini. Adapun jumlah korban tewas hingga Kamis malam tercatat 403 orang.
Sebagai seorang ibu, berita seperti ini adalah sangat menyesakan. Andai itu menimpa keluarga kita, Andai darah yang mengalir deras itu adalah darah anak – anak kita. Kemana kita akan mencari bantuan? Kepada siapakah derita itu dikeluhkan?
Ghouta (juga Aleppo), bukan tragedi pertama--bahkan mungkin bukan yang terakhir--yang menimpa umat Islam. Sebelum ini, bahkan hingga kini masih sedang berlangsung, tragedi pembantaian umat Islam di Myanmar (Burma).
Tragedi lainnya juga masih akan terus dialami oleh kaum Muslim di Xinjiang, Cina; Kashmir, India; di Afrika, Irak, Pakistan, Afganistan dan tentu di Palestina yang telah sekian puluh tahun menderita dijajah Israel yang didukung Amerika dan Eropa. Namun, tidak ada satu negri islma pun yang tergerak untuk membela mereka dengan kekuatan senjatanya? Kalau kami rakyat jelata, mampu apa selain mengirin do’a?
Namun, sampai kapan kita akan terus diam tanpa bergerak?
Dengan semua tragedi yang menimpa umat Islam di berbagai belahan dunia ini, umat makin membutuhkan kehadiran pemimpin yang berani dan siap menjadi perisai pelindung umat. Sebagaimana cerita yang telah diukir sejarah. Adalah Khalifah Al-Mu’tashim Billah yang sukses menaklukkan Kota Amuriyah, kota terpenting bagi imperium Romawi saat itu, selain Konstantinopel. Hal ini berawal dari adanya penguasa Amuriyah, salah seorang raja Romawi, telah menawan wanita mulia keturunan Fathimah ra.
Wanita itu disiksa dan dinistakan hingga berteriak dan menjerit meminta pertolongan. Ketika berita ini sampai kepada kholifah Al mu’tasyim billah, segeralah dikirim puluhan ribu pasukan terbaiknya. Hingga Amuriyah ditakhlukan dan wanita itu dibebaskan.
Wahai saudarku kaum muslimin, apakah kita akan terus seperti ini? Bercerai berai sehingga tidak lagi memiliki kekuatan dan kehormatan? Berharap kepada siapakah kita?
Penguasa muslim yang hanya terus bisa mengutuk dan mengecam? Atau PBB yang tidak pernah selesai meyelesaikan? belum saatnyakah kita merindukan pemimpin layaknya Al mu’tasyim Billah, yang hanya takut akan hisab di sisi Tuhannya?
Belum saatnyakah kita bersatu menggalang kekuatan untuk menggentarkan musuh kita, membebaskan saudara – saudara kita? Wallahu a’lam bi ash showab. [syahid/voa-islam.com]