Oleh: Dwi Maulidiniyah
(Koordinator pusat Back to Muslim Identity Community)
Rezki Ameliyah, atau yang akrab disapa Melia terpaksa harus menelan pil pahit. Dirinya dan teman satu almamater Mohammad Nur Fiqri harus diskorsing selama dua semester karena menempelkan poster kritikan bertajuk "Kampus Rasa Pabrik" di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar (news.okezone.com/07/02/2018).
Belum selesai kisah mahasiswa kritis, Zaadit Taqwa, yang memberikan kartu kuning akibat kebijakan-kebijakan yang dibuat rezim joko widodo. Satu kisah lagi mahasiswa kritis Melia dan Fiqri yang mencoba mengungkapkan sikap kritisnya dengan menempelkan poster kritikan bertajuk “Kampus Rasa Pabrik”di Unhas yang pada akhirnya berakhir diskorsing selama dua semester. Mereka dituduh melakukan vandalisme oleh pihak kampus Unhas.
Tindakan pihak kampus Unhas ini adalah tindakan yang menunjukan sikap anti kritik dan terburu-buru melakukan judging terhadap kedua mahasiswa kritis ini dengan sebutan vandalisme yang berakhir pada mengambil kebijakan skorsing yang salah. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) vandalisme adalah perusak dan penghancuran secara kasar dan ganas.
Tentu saja, tindakan yang dilakukan Fiqri dan Melia ini tidak termasuk vandalisme, mereka hanya ingin mengungkapkan suara mereka dengan menempelkan sebuah poster atas apa yang mereka rasakan dari kondisi nyata yang terjadi di kampus. Sehingga jelas, tindakan kampus adalah tindakan anti kritik yang berujung kebijakan mengkriminalisasi suara kritis kedua mahasiswa ini.
Kampus adalah pusat intelektualitas, yang memang seharusnya disitu terjadi aktivitas intelektual, mengkaji masalah, mengingatkan kebijakan dan mengungkapkan secara creative. Itulah yang dilakukan oleh kedua mahasiswa ini.
Sayangnya kampus Unhas malah melakukan tindakan yang jauh dari intelektualitas itu sendiri, bukannya duduk bersama dan mendengarkan suara mahasiswa, malah melakukan pembungkaman suara mahasiswa dengan kriminalisasi terhadap suara kritisnya. Hal ini tidak boleh dibiarkan, ini adalah kebijakan yang mengamputasi suara kritis dan jauh dari kata mendidik.
Keberanian menyuarakan pendapat harus dijaga, kekritisan mahasiswa tidak boleh dibungkam, dan satu hal lagi mahasiswa harus memiliki solusi lalu menyampaikan solusi tersebut kepada penguasa. Islam memiliki solusi atas segala permasalahan manusia baik dari segi sistem ekonomi, sistem politik, sistem pendidikan, sistem kesehatan yang jika diterapkan tidak akan menimbulkan permasalahan baru sebagaimana ketika diterapkannya sistem kapitalisme liberal seperti saat ini.
Mahasiswa di seluruh Indonesia, mari kita bersatu, melawan pembungkaman suara kritis mahasiswa yang dilakukan oleh Rezim ini, melawan kriminalisasi terhadap suara kritis mahasiswa. Kita harus bersatu dan memiliki visi pergerakan yang sama! tentunya visi pergerakan dengan sudut pandang aqidah Islam. [syahid/voa-islam.com]