Oleh: Naning Prasdawati, S.Kep., Ns
Belum usai kasus penganiayaan yang menimpa KH Umar Basri, Pimpinan Pondok Pesantren Al Hidayah Cicalengka, Bandung1, kemudian Ustadz Prawoto, Komando Brigade PP Persis yang diserang orang yang berlagak gila hingga menghembuskan nafas terakhinya2.
Kini tersiar kabar pengeroyokan terhadap Ustadz Abdul Basit di Palmeral, Jakarta Barat oleh belasan remaja3. Kapolres Jakarta Barat menjelaskan kejadian ini merupakan kriminal murni3.
Berbeda hal dalam menanggapi kasus penyerangan sebuah Gereja di Sleman, Menteri Kemenhumham memberikan pernyataan bahwa pelakunya adalah teroris4. Senada dengan peryataan tersebut, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menangarai pelaku penyerangan terpengaruh paham radikal5. Kecaman keras juga datang dari salah seorang tokoh agama Islam atas kejadian tersebut6.
Dua sikap yang saling kontradiktif ditunjukkan oleh para pemimpin negeri dan publik figure yang notabene akan memberikan pengaruh besar ditengah-tengah umat. Masyarakat dibuat bingung akan keberpihakan dan keadilan dalam melihat dan menyikapi masalah.
Semacam ada penggiringan opini intoleransi terhadap minoritas oleh mayoritas. Teringat pada sabda Rasulullah puluhan ribu tahun silam yang meramalkan bagaimana nasib kaum mayoritas ini diakhir zaman,
“Hampir tiba masanya kalian diperebutkan seperti sekumpulan pemangsa yang memperebutkan makanannya.” Maka seorang sahabat bertanya: “Apakah karena sedikitnya jumlah kami ketika itu?” Nabi berkata: “Bahkan, pada saat itu kalian banyak jumlahnya, tetapi kalian bagaikan buih di lautan (yang terombang-ambing). Ketika itu Allah telah mencabut rasa takut kepadamu dari hati musuh-musuh kalian, dan Allah telah menancapkan di dalam hati kalian ‘wahn’”. Seorang sahabat bertanya: “Ya Rasulullah apa yang dimaksud ‘wahn’ itu?” Rasulullah menjawab: “Cinta dunia dan takut mati” [dalam at-Tarikh al-Kabir, Imam Bukhari; Tartib Musnad Imam Ahmad XXIV/31-32; “Sunan Abu Daud”, hadist No. 4279].
Penyakit ‘wahn’ telah menjangkiti hati-hati anak kaum muslimin. Dimana kepentingan dunia lebih berharga dibandingkan dengan kebenaran hukum Allah. Mereka tidak takut mengatakan kebohongan demi kepentingan materiil, jabatan, harta, dan kehormatan. Hingga akhirnya masyarakat pun bisa menilai, dimana keberpihakan mereka, persis sebagaimana mereka tau dimana keberpihakan semut dan cicak dikala Nabi Ibrahim dibakar oleh Raja Namrud.
Umat terpecah belah, di adu-domba demi kepentingan-kepentingan segelintir orang yang haus akan jabatan. Maka tanpa adanya perubahan mindset pada diri individu-individu kaum muslimin akan hakikat hidup yang hakiki, sistem norma dan tata aturan bermasyarakat dan bernegara yang menjadikan ridho Allah sebagai tujuan utama, maka kaum muslimin akan terus seperti buih di lautan, jauh dari khoiru ummah sebagaimana yang Allah sebutkan dalam Al-Qur’an. [syahid/voa-islam.com]
Catatan Kaki:
1 jogja.antaranews.com/berita/TNI-BIN-diminta-turut-antisipasi-penyerangan-pemuka-agama/1202018
2 jawapos.com/kronologi-ustad-prawoto-meninggal-dianiaya-pelaku-berlaga-gila/03022018
3 tribunnews.com/kapolres-jakarta-barat-jelaskan-soal-ustaz-yang-dikeroyok-di-palmerah/12022018
4 nasional.tempo.co/kapolri-pelaku-penyerangan-gereja-st-lidwina-pernah-ke-poso/12021018
5 nasional.tempo.co/ wiranto-pelaku-penyerangan-gereja-st-lidwina-teroris/12021018
6 cnnindonesia.com/datang-ke-gereja-st-lidwina-syafii-maarif-kutuk-penyerangan/12021018