View Full Version
Jum'at, 30 Mar 2018

Penguatan Ekonomi dengan Impor, Utopi!

Oleh: Ely Susanti, S.Pd

(Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Raden Fattah Palembang)

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang dianugerahi Allah dengan melimpahnya sumber daya alam. Sepertiga luas Indonesia adalah daratan dan dua pertiganya merupakan lautan, luas daratan Indonesian sekitar 1.919.440 km2, jika dihitung secara matematika luas wilayah laut Indonesia sekitar 96.079,15 km2 yang merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau tidak kurang dari 17.508 pulau.

Tentunya luas daratan dan lautan yang sedemikian menjadikan Indonesia memiliki potensi kekayaan alam yang luar biasa, tidak hanya dari hasil buminya tetapi juga dari hasil kekayaan lautnya.

Kondisi melimpahnya kekayaan alam ini seharusnya mampu mencukupi kebutuhan rakyat Indonesia, bahkan lebih dari itu dengan pengelolaan yang baik seharusnya kekayaan alam ini mampu membawa Indonesia pada kemandirian ekonomi.

Namun kenyataan yang hadir di depan mata saat ini justru berbanding terbalik. Ketika rakyat Indonesian yang dengan hanya hitungan bulan lagi menuai hasil panen raya, pemerintah justru melakukan impor beras dengan jumlah yang fantastis sebesar 500.000 ton beras, dengan dalih mengantisipasi tingginya lonjakan harga beras (liputan6.com).

Keadaan ini tentunya akan berakibat buruk bagi para petani, yang seharusnya petani mendapat upah yang sepadan atas jeripayahnya, kini justru harus berbesar hati menerima rendahnya harga beras.

Sebenarnya ketika pemerintah mampu mengelola dan mendistribusikan beras hasil panen masyarakat dengan pengelolaan dan pendistribusian yang baik ke seluruh wilayah indonesia, kelangkaan beras tidak akan terjadi, dan para petano beraspun akan mendapatkan upah yang sepadan atas modal dan tenaga yang telah mereka keluarkan.

Namun kenyataannya tidaklah demikian pemerintah lebih memilih untuk mengimpor beras dari negara lain ketimbang memaksimalkan pendistribusian demi kemaslahatan masyarakat Indonesia.

Kado spesial awal tahun ini tidak hanya dirasakan oleh para petani beras, namun juga berlaku untuk petani garam yang menuai nasib tidak jauh berbeda. Karena pemerintah telah membuka keran impor garam industri sebesar 3,7 ton,  dengan dalih menjaga stabilitas dunia industri yang membutuhkan bahan baku garam (liputan6.com).

Padahal kebutuhan akan garam di Indonesia baik garam industri maupun garam konsumsi adalah sekitar 1,8 juta ton, sementara rakyat mampu memproduksi sebesar 1,4 juta ton. Artinya kita hanya membutuhkan 400 ribu ton untuk memenuhi kekurangannya. Lalu jika demikian mengapa harus impor hingga 3,7 juta ton?

Lagi-lagi rakyat kecil menjadi korban dari bobroknya sistem kapitalis yang dikuasai oleh para pemilik modal. Lebih di sesalkan lagi, ternyata pemerintah tidak hanya berhenti pada impor terhadap garam dan beras saja, keran impor gula mentah pun telah dibuka lebar oleh pemerintah. sebanyak 1,8 juta ton SAH (CNN Indonesia).

Dengan adanya berbagai fakta ini merupakan sebuah bukti nyata bahwa pemerintah tidak serius dalam mengelola kekayaan alam yang telah Allah anugerahkan untuk Indonesia demi kemaslahatan masyarakat dengan membangun kemandirian ekonomi.

Padahal dengan pertimbangan jumlah potensi kekayaan alam yang dimiliki indonesia, tentunya akan mampu membangaun sebuah kemandirian bagi perekonomian bangsa. Kebijakan- kebijakan yang diputuskan pemerintah selalu saja tidak berpihak pada kemaslahatan rakyat, namun senantiasa bermuara untuk memenuhi keinginan para kaum kapitalis.

Terbukanya keran impor selalu menjadi jalan pintas bagi penguasa yang dipengaruhi pandangan ekonomi neoliberal kapitalistik dengan dalih efesiensi dan solusi jangkan pendek bagi problem kelangkaan, hal inilah yang dijadikan alibi oleh para penguasa untuk memuluskan keinginan para kapitalis di negara demokrasi.

Tentunya hal ini berbeda dengan sistem Islam dalam mengatur perekonomian negara. Dimana negara berkewajiban memaksimalkan potensi yang dimiliki demi kesejahteraan seluruh rakyat sekaligus membangun kemandirian ekonomi. Dengan penerapan hukum syara’ secara menyeluruh, Islam memiliki cara yang khas dalam membangun kemandirian ekonomi negara diantaranya.

Pertama mengatur kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam sesuai syariah, bahwa hanya negara yang berhak mengelola sumberdaya alam yang menjadi milik umum (milkiyah ‘ammah) seperti tambang minyak, gas,  tembaga, emas dan lain sebagainya. Kedua menghentikan utang luar negeri (al-qurudh al-ajnabiyyah) baik hutang dari lembaga keungan internasional seperti bank dunia atau IMF maupun hutang dari negara lain, sehingga tidak ada satupun negara yang akan mengintervensi roda pergerakan daulah islam.

Ketiga menghentikan investasi asing yang bertentangan dengan syari’ah, misalnya investasi asing pada sektor kepemilikan ummum seperti pertambangan, sektor ini hanya boleh dikelola oleh negara saja. Keempat menghentikan segala bentuk hubungan dengan negara kafir  yang sedang memerangai ummat Islam (Daulah muharibah fi’lan) seperti Israel dan Amerika serikat. Kelima menghentikan keanggotaan dalam PBB seperti IMF dan Bank dunia. Keenam menghentikan keanggotaan dalam blok-blok perdagangan kapitalis seperti NAFTA, AFTA, MEA dan sebagainya.

Ketujuh membangun ketahanan pangan yaitu memenuhi kebutuhan pangan bagi negri sendiri melalui peningkatan produksi pangan. Kedelapan mencetak mata uang emas (dinar) dan perak (dirham). Sembelan mengghapus seluruh lembaga – lembaga keuangan kapitalis seperti perbankan, asuransi, pasar modal dan PT. (K.H. M. Siddiq Al jawi).

Dengan penerapan hukum islam secara kaffah maka akan mampu terwujud sebuah negri yang memiliki kemandirian ekonomi, bahkan tidak hanya itu  terbukalah pintu keberkahan dari langit dan bumi. 

Oleh karena itu sebagai seorang muslim sudah seharusnya kita perjuangkan penerapan Islam secara menyeluruh dalam naungan Khilafah. Yang merupakan induk dari seluruh kewajiban (ummul faraid). Wallahu a’lam bishshawab. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version