Oleh: Lailatul Ma’rifah, S.Pd. (Praktisi Pendidikan Islam Surabaya)
Beruntun, terhitung mulai akhir Januari hingga kini terjadi penyerangan terhadap ulama', ustadz, masjid dan pesantren di berbagai daerah di negeri ini. Mulai dari penyerangan terhadap pengasuh pondok pesantren,"Al-Hidayah" Santiong KH.Emon Umar Basri.
Beliau dianiaya di dalam masjid usai melaksanakan sholat shubuh Sabtu (27/1/2018). Peristiwa kedua menimpa ustadz Prawoto, beliau adalah komandan Brigade Persatuan Islam (persis) pusat.
Beliau dianiaya di kediamannya pada Kamis subuh (1/2/2018), dan beliau meninggal sore harinya di RS Santosa di daerah Kopo, Bandung. Anehnya, dua kejadian ini terjadi di tempat yang berbeda, di waktu subuh dan pelakunya sama-sama oleh "orang gila". Seperti yang telah disampaikan oleh kjepolisian setempat bahwa pelakunya disinyalir adalah "orang gila/ Stres berat".
Setelah itu bermunculan kasus-kasus lain. Di Jawa Timur, terjadi penyerangan pada Ahad, 18 Pebruari 2018, kepada KH. Hakam Mubarok, pengasuh pondok pesantren Karangasem, Paciran, Lamongan. Menurut Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisiann Daerah Jawa Timur Komisaris Besar Frans Barung Mangera mengatakan bahwa pelaku yang bernama Nandang Triyana bin Satibi, 23 tahun, warga kabupaten Cirebon, Jawa Barat tersebut diduga gila. (Tempo, 19/2/2018).
Dua hari berselang dari kejadian di Lamongam, dua pengasuh pondok pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri, KH. Zainuddin Jazuli dan KH. Nurul Huda Jazuli, disatroni orang tak dikenal dengan membawa pisau sambil berteriak-teriak. Pelaku kemudian diamankan oleh Polres Kediri untuk diintrogasi (Jawa Pos, 20/2/2018).
Selain itu, Masjid Baiturrahim Karangsari, Tuban Jawa Timur dirusak oleh orang tak dikenal pada Selasa (12/2) dini hari. Menurut informasi dari kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jawa Timur, pelaku diduga mengalami gangguan jiwa. (Republika, 13/2/2018)
Dan masih banyak lagi kasus lain yang menimpa ulama', ustadz, pengasuh pondok peaantren, atau merusak masjid. Kemudian ketika pelakunya tertangkap, mereka dinyatakan mengalami ganggua jiwa atau gila.
Adakah rekayasa?
Berbagai macam kejadian yang menimpa ulama', ustadz, pondok pesantren dan masjid tersebut mendorong tuntutan dari masyarakat bermunculan. Misalnya, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama' Jawa Timur mendesak kepada kepolisian untuk nengusut tuntas siapa dan apa di balik insiden beruntun terhadap tokoh agama dan tempat ibadah. Apakah ini kriminal biasa atau ada gerakan by design?. Kata ketua PWNU Jawa Timur, KH. M. Hasan Mutawakkil Alallah ( Tempo, 19/2/2018).
Mantan ketua umum PP Muhammadiyah, M. Dien Syamsuddin juga menyatakan: "Saya juga meminta agar polri melakukan upaya pencegahan dan perlindungan atas pemuka agama, serta mengawasi orang-orabg gila (berpura-pura gila)". (Republika.co.id 18/2/2018).
Pernyataan dari kepolisian yang dinilai terburu-buru, yang menyebutkan bahwa pelaku penyerangan adalah orang gangguan kejiwaan, juga mendapatkan kritik keras.
Ketua Perhimpunan dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Danardi Sosrosumihardjo merasa, penyebutan pelaku penyerangan sebagai penyandang gangguan jiwa atau orang gila terlalu cepat dilakukan. Untuk mengatakan itu perlu pembuktian melalui diagnosis dokter. " itu rasanya perlu dikoreksi menurut saya", kata dia (Republika, 14/2/2018).
Untuk itu, masyarakat tentu meminta keseriusan pemerintah dalam menangani berbagai kasus penyerangan belakangan ini.
Krisis Keamanan
Serangan terhadap ulama' belakangan ini menunjukkan bahwa jaminan rasa aman di negeri ini yang menjadi kewajiban yg harus dilakukan oleh negara kepada rakyatnya masih sangat kurang. Aparat pun terkesan meremehkan berbagai kasus tersebut.
Hal itu ditunjukkan dengan komentar dari Kapolri dalam wawancaranya dengan awak media, beliau menyebutkan bahwa berbagai penyerangan tersebut adalah tindakan kriminal biasa (Republika, 13/2//2018).
Sebagaimana juga komentar senada dari Kepala Biro Penerangan Masyarakat polri Brigadir Jendral Polisi Mohammad Iqbal, beliau menyatakan bahwa kasus penyerangan tersebut adalah sebuah kebetulan belaka. (Republika, 2/2/2018).
Negara Wajib Melindungi dan Memuliakan Ulama'
Negara sebagai perisai dari rakyatnya memiliki kewajiban untuk melindungi setiap warga negaranya terutama para ulama', karena kedudukannya yang sangat penting dan berharganya keberadaan mereka di tengah-tengah umat. Jika ulama' ini hilang maka hilanglah mutiara dan penerang kebaikan di tengah umat.
Oleh karena itu, umat terlebih penguasa tidak boleh berdiam diri terhadap teror yang ditujukan kepada para ulama'. Umat dan penguasa harus melindungi dan memuliakan ulama' mereka. Wallaahu a'lam bish-showab. [syahid/voa-islam.com]