Oleh: Salsabila Maghfoor*
Tahun 2018 saat ini merupakan titik tolak menuju kondisi perpolitikan negeri yang kian memanas menuju pilpres 2019. Para pemimpin kita sedang menyelenggarakan perhelatan akbar yang tentu bukan dengan kapasitas biasa.
Setelah berjalannya periode presiden rasa walikota dan gubernur, kita semakin ditampakkan pada fenomena kepemimpinan ala pengusaha-penguasa.
Hal ini memang agaknya terlihat baru, sebab sebelumnya kita berturut-turut dipimpin oleh presiden berbasis intelektual dan juga militer. Entah apa mungkin ini berpengaruh banyak, tapi saya rasa memang berpengaruh.
Banyak diantara kebijakan yang dicanangkan sesungguhnya lebih cocok disebut sebagai perniagaan insfrastruktur. Satu-dua infrastruktur yang dibangun pada akhirnya ada yang roboh dan tidak sedikit yang menelan korban jiwa dari pengguna jalan yang melintas.
Entah aspek apa yang kurang diperhatikan dari proses pembangunan yang ada, tapi memang semestinya harus ada pemetaan di awal, lengkap dengan segala analisa dan persiapan yang dikerahkan, serta yang terpenting adalah dalam eksekusi pembangunan yang harus memperhatikan waktu secara proporsional, efektif namun juga bisa optimal. Namun hari ini justru kebanyakan pembangunan yang ada itu semacam dikejar tayang, atau justru ada yang berjalannya mangkrak dan terbengkalai.
Ini hanya satu contoh. Banyak aspek lain dalam pelayanan pemerintah yang dirasa masih belum betul-betul berpihak pada rakyat. Seperti pemberian kartu-kartu sakti ala pemerintah yang teryata ada kepentingan juga didalamnhya.
Dalam aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya itu dapat kita rasakan mekanisme yang terkesan di-kapitalisasi dan berpihak kepada keuntungan semata. Saya lebih terkejut ketika seorang menteri agama lantas mencanangkan ingin mengusulkan kewajiban zakat profesi 2,5% untuk PNS, yang belakangan terkuak bahwa itu akan diputar dan digunakan untuk mendanai infrasttuktur.
Ada banyak corak kepemimpinan yang telah, sedang dan akan menguasai negeri ini. Kesemuanya itu tentu bisa dibaca dengan mudah kemana arah kepemimpinannya jika bukan kearah Kapitalis-Liberalis. Apakah ini suudzon ? tentu tidak. Sebab memang saat ini sistem pemerintahan di negara manapun memang mengikut kepada corak negara adidaya yang terus memberikan pengaruh dan mindset Kapitalistik.
Tentu bukan tidak mungkin bila pada akhirnya negara berkembang pun akan mengikuti dan memang diaruskan untuk membebek dan mengikuti. Hal ini dapat kita rasakan dari aspek pelayan ataupun kepemimpinan yang dijalankan, pasti bukan murni karena inginnya melayani rakyat dan tidak betul-betul murni berdasar kesadarannya akan tugas kepemimpinannya, melainkan pasti ada aspek tertentu yang dia pandang sebagai keuntungan.
Selalu berpusar kepada keuntungan apa yang mampu didapat oleh pemerintah bila ia membuat kebijakan A, bila memutuskan mekanisme B, dan sebagainya.
Maka yang mesti kita lakukan adalah menumbuhkan sikap kekritisan dan daya analisa yang super tinggi bila tidak mau dibodohi dengan istilah wong cilik, pro rakyat, dan istilah lain yang sebenarnya menutupi wajah asli ala kapitalis dibelakangnya. Ini yang mesti kita bangun dan terus kita asah, agar kita mampu menjadi corong yang menyadarkan pemerintah melalui lisan dan sikap kita.
Disinilah letak pentingnya kecerdasan politis ditengah tahun politik. Kita mesti terus mengasah kepekaan politis bila tidak mau dipolitisasi oleh segelintir oknum di badan pemerintah. Mengkritik ini bukanlah untuk menjatuhkan dan bukan pula untuk tujuan pencelaan.
Lebih jauh lagi, ini adalah bentuk penjagaan dari komponen rakyat yang tidak ingin ada kebocoran dan kerusakan yang semakin parah dalam kapal kebangsaan yang berpotensi menyebabkan kerugian besar di segala sisi dan akhirnya akan menjerumuskan. [syahid/voa-islam.com]
*) Aktivis Mahasiswa Universitas Brawijaya