Oleh: Yons Achmad*
(voa-islam.com), Suatu ketika, seorang peneliti asal Amerika ingin mengetahui perihal jurnalisme Islam. Ketika itu, Redaktur Utama Republika, Elba Damhuri, mengatakan, “Kami kaum muslim tidak selalu memahami media. Saya yakin, semua media bisa disebut Islami kalau mereka menjaga kode etik Jurnalistik”. Walaupun begitu, dalam praktiknya, dijelaskan bagaimana media seharusnya bukan melaporkan keadaan seperti apa adanya, melainkan juga memberi inspirasi tentang keadaan yang seharusnya”.
Pemimpin Redaksi Indonesia Raya, Atmakusumah Astraatmadja menilai bahwa tujuan jurnalisme adalah “Meraih Kebajikan”. Untuk mendapatkan keadilan, untuk kebajikan, untuk kemajuan. “Kami mempelajari Islam dan saya tidak melihat adanya perbedaan antara kami dan jurnalisme, keduanya sangat terkait, tak ada perbedaan dengan Islam”.
Seorang tokoh pers dari Malaysiakini, Fathi Aris berpendapat serupa. “Dalam hal etika, jurnalisme hampir 100% sama dengan tujuan agama: Mencari keadilan, membantu orang miskkin, menyokong penyebaran adil kemakmuran, dan berjuang melawan korupsi”.
Cerita di atas, dengan penyesuaian seperlunya, saya dapatkan setelah membaca tuntas buku karya Janet Steele (2018) yang berjudul “Jurnalisme Kosmopolitan di Negara-Negara Muslim Asia Tenggara”. Sebuah buku yang merangkum hasil penelitian selama hampir 20 tahun mengenai praktik pelaporan profesional para jurnalis muslim di lima kantor berita terkemuka di Indonesia dan Malaysia.
Penelitian itu hadir ketika di Barat memang mempunyai pandangan monolitik tentang Islam; Ketika berpikir tentang Islam dan media, orang Barat berpikir tentang Timur Tengah, Budaya Arab, Pers yang dikontrol ketat dan lebih parah lagi, Terorisme. Itu sebabnya, sang peneliti tertarik menggali apa hubungan jurnalisme, Islam dan penolakan terhadap otoritarianisme? Apakah ada sebentuk Jurnalisme Islami dan jika memang ada, bagaimana hubungan dengan reformasi birokrasi?
Apa hasilnya? Silakan baca buku ini. Hanya saja, setelah membaca buku ini, seperti biasanya, saya melihat ada masalah “Kepentingan” dalam setiap penelitian, apalagi oleh peneliti asing. Dalam buku ini dicitrakan bagaimana misalnya Sabili itu walaupun diterangkan oleh para jurnalisnya yang diwawancara tampak sebagai media yang “Militan”, tapi citra yang ingin ditampilkan sekadar media “Pamplet dan provokasi”. Sama dengan Republika, yang dicitrakan “Konservatif “ dan hanya melihat Islam dengan “Ceruk Pasar”. Sialnya, justru “Tempo” yang dicitrakan tampak “Islami”. Agak lucu juga sih”. Entahlah. Itu pendapat pribadi saya.
Namun, terlepas dari itu semua. Kita tentu “Menaruh Hormat” dengan seorang peneliti yang mencurahkan waktunya cukup lama, hampir 20 tahun untuk menjawab pertanyaan ”akademiknya”. Sungguh, sebuah kerja yang sangat serius dan tak bisa dianggap remeh. Sementara, bagi umat muslim sendiri, saya kira mesti sepakat dengan beberapa pendapat beberapa tokoh di atas, bahwa jurnalisme dan Islam itu punya hubungan yang sangat terkait.
Kalau boleh dikatakan, jurnalisme adalah salah satu pilar peradaban. Kita tentu mesti merawat jurnalisme ini dengan baik. Termasuk, praktik-praktik di media-media Islam. Ya, anggap saja penelitian Janet Steele itu sebuah masukan untuk memajukan apa yang disebut dengan jurnalisme Islam, jurnalisme Islami, apapun namanya. Agar lebih profesional, berkelas, dan lebih dipercaya publik. []
Tanah Baru, 7 April 2018
*Kolumnis, tinggal di Depok.