Oleh: Ririn Umi Hanif
Publik kembali dihebohkan dengan kasus berita hoax dan ujaran kebencian. Setelah kasus saracen beberapa waktu lalu, kini family Muslim Cyber Army (MCA), kembali dituding sebagai penyebar hoax dan kebencian yang meresahkan.
Selasa, 27 Pebruari 2018, Ditsiber Bareskrim Polri telah menangkap sejumlah orang terkait penyebaran informasi hoaks dalam kelompok Muslim Cyber Army (MCA). Sebanyak enam orang administrator telah diamankan terkait kasus tersebut (Kompas.com, 28/2/2018)
Para tersangka dijerat dengan perbuatan pidana sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi Ras dan Etnis (SARA). Pelaku juga disangka dengan sengaja dan tanpa hak menyuruh melakukan tindakan yang menyebabkan terganggunya sistem elektronik dan atau membuat sistem elekteonik tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Pelaku terancam pasal 45A ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan/atau pasal Jo pasal 4 huruf b angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan/atau pasal 33 UU ITE (Tirto.id, 2/3/2018)
Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun perseorangan masyarakat. Pemerintah telah membentuk Badan Siber dan Sandi Nasional (BSSN) yang bertugas melindungi kegiatan siber secara nasional.
Pemerintah juga menerbitkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur soal penyebaran informasi dan pemberian sanksi pidana penjara enam tahun dan denda Rp.1 miliar kepada siapa saja yang menyebarkan berita hoax walaupun hanya sekedar menyebarkan (forward). Perseorangan masyarakat juga berupaya membentuk komunitas anti hoax yang telah meluncurkan aplikasi turn back hoax.
Namun upaya ini belum membuahkan hasil maksimal, mengingat begitu banyaknya pengguna medsos dibandingkan jumlah SDM dan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengawasi pengguna sosmed yang jumlahnya mencapai 132 juta pada tahun 2016 (kompas.com).
Kalau kita mau merenung dan jujur mengakui, akar permasalahannya adalah sistem demokrasi-kapitalisme yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat kita. Sistem ini begitu menjunjung tinggi kebebasan, termasuk kebebasan berpendapat.
Dengan dibukanya kran kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi, orang bebas menyebarkan informasi apa saja. Dengan ditinggalkannya konsep halal dan haram, orang akan melakukan apa pun untuk bisa meraih keuntungan sebesar mungkin dengan modal sekecil-kecilnya, termasuk dengan menyebarkan berita hoax.
Sistem pendidikan berbasis sekulerisme yang diterapkan negeri ini juga menyumbang peran yang cukup besar. Masyarakat tidak memiliki standar yang jelas untuk memilah suatu berita. Apalagi menjadikan Islam sebagai standar untuk menilai kebenaran suatu berita. Sulitnya mengakses pendidikan tinggi juga memicu pola sikap masyarakat untuk tidak menganggap penting sebuah literasi. Sehingga upaya cros cek ke sumber langsung sering tidak menjadi pilihan.
Faktor ideologi dan politik pun tidak kalah penting perannya. Meskipun sering dikatakan bahwa media, khususnya media massa, harus netral dan objektif, tapi fakta di lapangan mengatakan sebaliknya. Media digunakan untuk menjatuhkan lawan politik, baik tokoh maupun kelompok yang dianggap berseberangan.
Dalam ajaran islam, seorang muslim diperintahkan untuk tabayyun atau meneliti kebenaran sebuah berita sebelum mempercayai apalagi menyebarkannya, yang bisa menjerumuskannya dalam fitnah. (QS.al-Hujurat 49 : 6 dan QS al-Isra ayat 36). Sehingga dibutuhkan ketaqwaan tinggi bagi tiap - tiap individu di negeri ini untuk bisa melawan hoax. Karena individu yg bertaqwa, dia akan terus berusaha mengamalkan apa yang diperintahkan Allah SWT.
Namun ketaqwaan individu saja tidaklah cukup membendung arus berita hoax, kontrol masyarakat juga diperlukan sebagai upaya amar ma'ruf nahi mungkar. Demikian pula negara, harus mengganti sistem kapitalis sekuler, yang kita yakini menjadi awal bebasnya manusia melakukan banyak hal tanpa peduli halal dan haramnya.
Diganti dengan sistem islam yang akan merubah sistem pendidikan sekuler dengan kurikulum berbasis aqidah islam dan murah, sehingga masyarakat bisa "melek" literasi.
Juga sistem politik kapitalis menjadi politik islam, yang menganggap bahwa jabatan adalah amanah yang akan dimintai pertanggung jawaban. Sehingga tidak akan terjadi penggunaan berita hoax demi popularitas semu politik ala kapitalis. Wallahu a'lam. [syahid/voa-islam.com]