Oleh: Rismayanti Nurjannah S.S
Tingginya angka putus sekolah anak Indonesia memang menjadi problematika sosial yang tak kunjung usai. Semakin mahalnya biaya, makin tinggi pula angka putus sekolah. Tak dipungkiri, bangku perguruan tinggi pun jadi barang mewah yang tak mampu dijangkau semua kalangan. Bahkan label Universitas negeri sekalipun bukan jadi jaminan biayanya terjangkau.
Untuk menekan jumlah angka siswa yang tak mampu melanjutkan kuliah, Jokowi mencanangkan program student loan yang katanya mampu mewadahi aspirasi calon mahasiswa. Program ini disambut baik oleh perbankan, karena mampu mengejar target pertumbuhan kredit yang di tahun 2017 tidak tercapai.
"Kepala negara lantas mencontohkan Amerika Serikat (AS) yang sudah memiliki program tersebut. Adapun untuk nominal kredit pendidikan yang disalurkan perbankan AS, berdasarkan catatan Presiden sudah mencapai US$ 1,3 triliun." (www.cnbcindonesia.com, 16/13/18). Nyatanya program ini di AS justru menjadi masalah sosial.
Masih dari CNBC Internasional, saat ini lebih dari 44 juta warga Amerika menanggung sekitar US$1,5 triliun utang pendidikan secara kolektif. Bahkan, sekitar 70% mahasiswa perguruan tinggi di negara itu lulus dengan beban pinjaman yang signifikan untuk dipikul.
Di Indonesia, student loan bukanlah hal baru. Pasalnya program ini pernah digalakkan di masa Orde Baru, dekade 1980-an. Salah satu mahasiswa pada masanya yang pernah mendapatkan dana pendidikan berupa Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) dari sebuah bank BUMN yakni M. Nasir. Ia menuturkan tahun 1985 mendapatkan pinjaman senilai Rp500 ribu–Rp1 juta. Sebagaimana dilansir Antara, ia bisa melunasi kredit pendidikannya setelah bekerja selama dua tahun. Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi ini pun mengakui student loan pada zamannya gagal.
Program ini nyatanya membawa mimpi buruk bagi mahasiswa. Di saat mereka berharap mampu mengenyam pendidikan dengan biaya ringan, bahkan gratis, Kepala negara justru menawarkan mereka untuk berutang. Alhasil, output pendidikan yang dihasilkan pun adalah manusia-manusia yang berpikir profit oriented dan menjadi economic animal. Pasca mereka lulus mereka “dipaksa” mencari pekerjaan berupah tinggi supaya bisa melunasi utang. Padahal tak dipungkiri saat ini lapangan pekerjaan kian sempit.
Dalam Islam, pendidikan merupakan kebutuhan primer yang menjadi tanggung jawab Negara. Tak dibenarkan jika pendidikan justru menjadi barang komersil yang tak mampu dijangkau semua kalangan. Negara berkewajiban menyediakan pelayanan pendidikan berkualitas secara gratis. Pada tingkat perguruan tinggi, disediakan sesuai kebutuhan dan kemampuan Negara. Hal ini pernah terjadi pada masa pemerintahan Islam yang dipimpin oleh Khalifah Al-Muntahsir Billah di Baghdad.
Di sekolah bernama Madrasah Al-Muntashiriah, setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas). Tak sebatas itu, biaya sehari-harinya pun dijamin sepenuhnya oleh Negara. ”Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari). Wallahu a’lam bi ash-shawab.