Oleh: Nur Syamsiyah (Anggota BMIC Malang)
Berdasarkan catatan Bank Indonesia pada kuartal akhir 2017, utang luar negeri (ULN) Indonesia mencapai 352,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp 4.769 triliun. Sedangkan, pada akhir Januari 2018, berdasarkan data pemerintah, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia sudah tembus Rp 5.107,14 triliun (Merdeka.com, 15/03/2018). Bahkan, Indef sebut utang Indonesia sudah menembus Rp 7.000 triliun (Liputan6.com, 21/03/2018).
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dradjad Wibowo mengatakan, utang pemerintah terus bertambah karena pembangunan infrastruktur yang digencarkan. Namun, dia menyayangkan karena tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor tersebut terbilang rendah (Republika.co.id, 21/02/2018). Artinya, tambahan utang tersebut belum produktif dari sisi penciptaan lapangan kerja. Hal ini akan terus mempersulit generasi bangsa ke depannya.
Di samping posisi utang Indonesia yang semakin dalam, pemerintah mengklaim bahwa utang dipakai untuk ekonomi produktif. Namun, di mana letak produktifnya tersebut?
Pembangunan infrastruktur dinilai lebih banyak berupa jalan tol. Namun, infrastruktur untuk fasilitas perkotaan, seperti pembangunan gorong-gorong, trotoar, rusun, dan fasilitas publik yang banyak menyerap tenaga kerja kurang dimaksimalkan. “Ada banyak aktivitas lain yang bisa memanfaatkan tenaga kerja,” kata Dradjad.
Indonesia menjadi sasaran empuk bagi negara kapitalis untuk terus melakukan aktifitas Utang Luar Negeri (ULN). Indonesia pun telah terdoktrin bahwa negeri ini tidak bisa membangun tanpa utang. Hal ini menjadi salah satu cara bagi para negara kapitalis untuk melakukan penjajahan terhadap negara-negara berkembang, termasuk Indonesia di dalamnya.
Jika kita melihat kekayaan dalam negeri, Indonesia memiliki banyak kekayaan dari sumber daya alam yang melimpah ruah, di darat ataupun di laut, di permukaan bumi ataupun di dalam perut bumi. Hanya saja, dengan kekayaan yang ada tidak membuat rakyat Indonesia hidup kaya sejahtera. Namun sebaliknya, Indonesia terjebak dalam utang yang makin dalam di negeri yang kaya raya.
Bagaimana bisa? Ya, karena SDA yang kita miliki tidak dikelola dengan maksimal dalam negeri dan memberi kepercayaan yang tinggi bagi asing dan aseng untuk mengelolanya. Padahal, SDM di dalam negeri tak kalah pandainya dengan orang asing ataupun aseng dalam mengelola SDA ini.
Permasalahan di atas dapat diselesaikan dengan penerapan sistem ekonomi Islam. Karena Islam, bukan hanya sekedar agama ritual semata melainkan juga merupakan sistem yang dapat menyelesaikan seluruh problematika umat, termasuk di dalamnya adalah perkara ekonomi.
Sehingga, hal ini akan menyelamatkan Indonesia dari penjajahan bermodus hutang. Wallahu a’lam. [syahid/voa-islam.com]