Sahabat VOA-Islam...
Andaikan pemerintah mau bertanya satu-satu kepada rakyat, saya yakin kebanyakan rakyat tidak setuju bila pemerintah mengambil langkah berhutang untuk pembangunan infrastruktur ataupun lainnya.
Namun sayang, hal ini tidak dilakukan, selain memang sulit untuk dilakukan. Akhirnya, hutang negara ini melimpah mencapai 4.928,916 trilyun (republika.co.id).
Negara pemasok hutang Indonesia ada banyak, sebanding dengan jumlah hutangnya. Diantara negara-negara tersebut adalah Jepang, Prancis, Jerman, Korea Selatan, China, Amerika Serikat, Australia, Spanyol, Rusia, Inggris dan negara lainnya (Liputan6.com). Andaikan seorang manusia memiliki hutang sebanyak itu tentu hidupnya tidak tenang. Ditambah lagi rasa malu yang harus ditanggung.
Apalagi bagi sebuah negara yang adanya ia adalah untuk menghidupi dan mensejahterakan rakyatnya. Bagaimana akan disebut negara kaya? Sejahtera? Mandiri? Bila ternyata hutangnya sedemikian besarnya. Rakyatpun malu, namun malu jugakah pemerintah dengan hutang ini?
Dan kini, kaum terpelajar akan diajari untuk berhutang. Namanya kredit pendidikan. Biaya kuliah yang boleh dicicil pembayarannya, atau dilunasi setelah lulus dan kerja. Nampaknya memang baik, tapi jalan ini bisa menutup pikiran pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi yang terjangkau oleh semua. Bahkan pemerintah bisa lepas tangan dengan dalih sudah ada kredit pendidikan (student loan).
Keluarga yang tidak mampu mengkuliahkan anaknya, bisa dipastikan dari keluarga tidak mampu. Keputusan tidak kuliah pasti karena sudah memikirkan total biaya kuliah yang harus dikeluarkan. Mulai biaya semester, beli buku, kost, makan, mengerjakan tugas, transport dan lain-lainya. Jadi walaupun ada student loan kalau penghasilan keluarga tidak bertambah, ya tetap saja tidak mampu membiayai kuliah. Kecuali bagi keluarga berkecukupan yang mampu memprediksi kemampuan mencicil uang kuliah. Jadi, student loan ini belum menuntaskan masalah keluarga tidak berada untuk bisa kuliah.
Kalaupun boleh dilunasi bila sudah lulus atau sudah bekerja, yang menjadi pertanyaan, iya kalau setelah lulus langsung kerja? Kalau tidak? Kalaupun langsung kerja, iya kalau gajinya besar? Jadi tetap menjadi benang ruwet yang belum ketemu jalan mengurainya.
Belum lagi adanya bunga yang diterapkan oleh perbankan. Jumlah hutang yang harus dibayar tambah besar dari mulanya. Dan bunga bank adalah riba. Sehingga secara tidak langsung program student loan ini mengajari rakyat untuk menghalalkan riba. Selain itu, apakah barokah, sekolah/kuliah yang didanai dengan riba? Bagaimana juga akan terwujud manusia Indonesia yang berimtaq dan beriptek dengan kwalitas unggul jika darahnya teraliri riba.
Dengan demikian, Indonesia yang kaya raya ini, seharusnya memikirkan bagaimana menciptakan pendidikan tinggi murah dan terjangkau untuk seluruh rakyat. Sehingga uang rakyat tidak tersedot lagi. Berbagai pajak, BPJS, belanja harian yang melambung dan kebutuhan lainnya sudah cukup merogoh kocek rakyat.
Sesungguhnya student loan adalah teori kapitalis yang tidak menyelesaikan polemik mahalnya pendidikan tinggi. Student loan di negara pengusung kapitalisme – Amerika Serikat - telah terbukti memunculkan dilema, banyak mahasiswa lulus bahkan sudah bekerja namun belum melunasi dana pendidikan yang mereka pinjam (www.cnbcindonesia.com).
Akankah sarjana Indonesia meniru lulusan AS ini? Semoga tidak. Wallahua'lam. [syahid/voa-islam.com]
Kiriman Puji Astutik, Tinggal di Trenggalek Jawa Timur