Oleh: Astrid Meylina (Tim Penulis Pena Langit)
Api menyala dari bawah teluk Balikpapan, Kapal Kargo itu tiba-tiba saja terbakar Sabtu (31/3/2018). Lima orang pemancing juga ikut menjadi korban yang salah satu diantara korbannya adalah warga setempat.
Api menyala dan sulit dipadamkan. Setelah diteliti lebih lanjut, Kabid Humas Polda Kaltim, Kombes Ade Yaya, menyebut tumpahan minyak itu berasal dari pipa Pertamina yang putus di kedalaman 20 meter dari permukaan laut.
Sebelumnya Pertamina sempat membantah tumpahan minyak itu berasal dari fasilitas perusahaan itu. Namun, kepada pers di Balikapapan, Rabu sore, General Manager Pertamina Refinery Unit 5, Togar MP, menganulir pernyataannya.
Lapisan minyak masih ada baik di perairan, tiang dan kolong rumah pasang surut penduduk di Kelurahan Margasari, Kelurahan Kampung Baru Hulu dan Kelurahan Kampung Baru Hilir dan Kelurahan Kariangau RT 01 dan RT 02, Kecamatan Balikpapan Barat. Warga di 8 RT di Kelurahan Penajam juga mengaku tidak berani menyalakan kompor karena takut terbakar.
Belum lagi jika kita tengok pencemaran lingkungan yang diakibatkan. Dalam laporan tim penanganan menyebutkan,dari fakta lapangan ditemukan ekosistem terdampak berupa mangrove sekitar 34 hektar di Kelurahan Kariangau, 6.000 mangrove di Kampung Atas Air Margasari, 2.000 bibit mangrove warga Kampung Atas Air Margasari dan kepiting mati di Pantai Banua Patra.
Warga di area pemukiman yang banyak tumpahan minyak sudah merasakan mual dan pusing. Menurut Menteri LHK, Siti Nurbaya, minyak tumpah di Teluk Balikpapan mencapai 69,3 meter kubik atau 400 barel. Peristiwa ini mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit, kerusakan yang diakibatkan tidak hanya ekosistem saja bahkan sudah menelan korban jiwa.
Permasalahan ini tidak hanya terjadi kali ini saja, hal serupa bahkan pernah terjadi pada Mei 2017. Masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Peduli Tumpahan Minyak berunjuk rasa di kantor Wali Kota Balikpapan. Mereka menganggap Pemerintah Kota Balikpapan selama ini membiarkan sejumlah kasus minyak tumpah di perairan daerah itu berlalu tanpa ganti rugi atau pemidanaan. Kejadian minyak tumpah yang menyebabkan lima orang meninggal dunia sejak Sabtu pekan lalu diklaim bukanlah yang pertama kali terjadi di Balikpapan, Kalimantan Timur.
"Selama ini masyarakat diam dan hanya diberi ruang untuk bersih-bersih. Kami harus turun untuk mengawal proses penegakan hukum," kata Topan Wamustopa, koordinator koalisi. Topan menuturkan, seiring proses penegakan hukum secara pidana terhadap perusahaan atau pelaku individual, pemerintah seharusnya juga menggugat ganti rugi atas pencemaran lingkungan yang terjadi.
Proses penanganan yang selama ini dilakukan pemerintah Kota Balikpapan dirasa tidak transparan dan terkesan lambat, alasan yang dikemukakan adalah masyarakat diminta untuk tidak ikut campur lebih jauh dan memasrahkan semuanya kepada proses hukum.
Dengan begitu asas yang digunakan adalah asas praduga tak bersalah dan belum ada fakta yang bersalah sehingga proses hukum akan panjang dan berlarut-larut. Kemudian selanjutnya ada kemungkinan tersangka lolos dari jeratan hukum seperti yang selama ini terjadi. Begitupun dengan perusahaan pertamina. Proses hukum yang lambat dan panjang mengakibatkan permasalahan ini berlarut-larut.
Pemerintah Kota mengaku masih focus kepada membersihkan tumpahan minyak karena arus air Teluk Balikpapan yang tenang menyulitkan pembersihan. Kasus seperti ini bisa saja terus terulang jika pemerintah tidak segera bertindak tegas.
Adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap penanganan pemerintah adalah akibat dari indikasi pemerintah yang tidak serius dalam melindungi rakyat, dan memihak kepada koorporasi. [syahid/voa-islam.com]