Oleh: Dedah Kuslinah
Salah satu poin khutbah Muhammad Al Fatih jelang pembebasan konstantinopel: “ Jika penaklukan konstantinopel sukses, maka tidak mengusik tempat-tempat peribadatan, dan gereja – gereja. Jangan mengganggu para pendeta, dan orang – orang lemah tak berdaya, yang tidak ikut terjun ke medan pertempuran”.
Berabad tahun silam, minoritas mulia di bawah naungan pemerintahan Islam. Islam mengajarkan cara hidup berdampingan dengan penganut agama lain dalam satu negara. Negara pun menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan, dan harta benda mereka.
Di abad ini, nasib minoritas muslim di wilayah masyarakat non muslim hampir selalu terdiskriminasi. Dilansir dari Merdeka.com, 18/03/2018 bahwa “Perkumpulan Gereja-gereja di Kabupaten Jayapura (PGGJ) menuntut pembongkaran menara Masjid Al-Aqsa Sentani karena lebih tinggi dari bangunan gereja yang sudah banyak berdiri di daerah itu”.
Atas nama toleransi,sebelumnya beredar surat edaran PGGJ yang terdiri dari perwakilan 15 gereja di Jayapura diantara isinya meminta agar suara azan yang selama ini diperdengarkan kepada khalayak umum harus diarahkan ke dalam masjid agar tidak mengganggu masyarakat sekitar.
Dan masih ingatkah peristiwa 17 juli 2015, ketika Masjid Baitul Mutaqin di Karubaga kabupaten Tolikara Papua dibakar? Sangatlah tak elok, sekelompok massa menyerang jama’ah shalat ied di lapangan makaromil 1702-II / Karubaga. Mereka meminta jama’ah untuk menghentikan shalat ied. Ironisnya, para pelaku malah diundang ke istana oleh bapak kepala negara.
Kemudian tahun 2014, ada pelarangan berbusana muslim bagi pelajar muslimah, pelarangan ibadah dan pelarangan shalat Jum’at di Bali, serta wajib mengecilkan suara azan pada saat nyepi. Ini semua menambah panjang rangkaian cerita ketimpangan toleransi di sistem demokrasi.
Gagal paham kembali menyeruak. Bukankah ketaatan seorang manusia pada Tuhannya tidak berdasarkan tinggi rendahnya bangunan tempat beribadahnya? Apakah tinggi rendahnya bangunan penentu bagi cepat atau lambatnya ibadah seseorang diterima oleh Tuhannya?
Bila dicermati, nasib minoritas non muslim di wilayah masyarakat mayoritas muslim, justru lebih baik. Ketika mereka melaksanakan peribadatan, pengawalan ketat lengkap dengan senjata yang disandang setiap personilnya telah disiagakan untuk melindunginya. Hal yang bertolak belakang saat muslim menjadi minoritas.
Perhatikan isi berita berikut ini. Dikutip dari CNN Indonesia, edisi Sabtu, 17/03/2018, ketua PGGJ Pendeta Robbi Depondoye mengatakan, “Kami sarankan ibadahmu enggak dilarang, tapi suara azan diarahkan ke dalam masjid saja jangan keluar.”
Para ulama sepakat bahwa kumandang azan itu disyari’atkan. Syari’at yang mulia ini sudah berlangsung sejak masa Rasulullah Saw hingga saat ini. Rasulullah Saw bersabda, “Jika waktu shalat telah tiba, salah seorang diantara kalian hendaknya mengumandangkan azan untuk kalian, dan yang paling tua diantara kalian menjadi imam” (HR Bukhari no 631 dan Muslim no 674).
Azan adalah panggilan bagi umat muslim untuk melaksanakan ibadahnya. Lonceng dibunyikan saat orang nasrani dipanggil untuk beribadah. Terompet ditiupkan saat orang yahudi dipanggil untuk beribadah. Begitu pula api dinyalakan saat kaum majusi dipanggil untuk melakukan ibadah.
Jika toleransi itu memang ada, kenapa suara azan dipersalahkan? Bagaimana dengan lonceng di gereja? Lonceng dan gendang besar di kelenteng yang juga dibunyikan ketika akan melakukan ibadah?
Faktanya, dalam negara demokrasi ruang toleransi hanya terbuka untuk non muslim namun tidak untuk muslim. Tragis!
Bila sudah begini, masihkah demokrasi diharap dapat menyelamatkan negeri dengan dalih toleransi? Pada saat yang sama, ada aturan dan sistem kenegaraan yang terbukti berabad lamanya mampu mengayomi seluruh warga negara meskipun berbeda-beda. Di sinilah akal yang dipandu keimanan diuji, masihkah memilih sistem buatan manusia yang jelas timpang ataukah sistem yang bersumber dari pencipta manusia itu sendiri? Kalau kata Cak Lontong: mikir! Wallahu a’lam bi ash shawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google