Oleh: R Wijaya (Aktivis Back to Muslim Identity Samarinda)
Zaman semakin menampakkan kemajuan. Salah satu kemajuan yang tampak ialah kemajuan teknologi. Namun tak bisa dipungkiri, seiring dengan kemajuan teknologi, kemajuan tingkat islamophobia pun turut mengalami perkembangan. Mengapa ini bisa terjadi?
Jika berbicara terkait perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, lalu dikaitkan bahwa zaman kita sedang mengalami kemajuan teknologi, sesungguhnya hal itu tergantung perspektif siapa yang memandang. Jika kemajuan teknologi hanya dibatasi pada alat-alat teknologi mesin maupun komunikasi yang canggih saja, maka jelas pandangan ini berasal dari pandangan seseorang yang berideologi kapitalisme, yang menjadikan materi sebagai tujuan untuk meraih kebahagiaan hidupnya di dunia.
Adapun menurut pandangan Islam, adalah tidak tepat jika sebuah kemajuan hanya dinilai dari kemajuan teknologi yang ada saja. Tetapi seyogyanya harus dibarengi dengan kemajuan berfikir suatu masyarakat yang dengan pemikirannya itu mampu meletakkan alias memposisikan manusia di tempat seharusnya, yakni sebagai makhluk ciptaan Allah swt. Sehingga teknologi yang diciptakan pun sejalan dengan keinginan Sang Pencipta.
Virus Islamophobia bukanlah virus baru. Virus ini sudah ada sejak runtuhnya institusi Islam, yakni Negara Islam (Khilafah Islamiyyah) di turki 94 tahun yang lalu. Bahkan sebelumnya, virus ini telah disuntikkan oleh para penghianat negara Islam untuk memisahkan kaum Muslimin dari institusi yang selama ini menaungi mereka.
Hingga hari ini virus Islamophobia masih berkembang di dunia. Tatapan ‘sinis’ terhadap Islam dan pemeluknya masih merasuki benak-benak, baik Muslim sendiri maupun non Muslim. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya para penista agama yang menghina ajaran Islam dan pelarangan-pelarangan penerapan berbagai hukum Islam.
Beberapa rentetan kasus pun akan menguatkan bahwa Islamophobia ini masih ada hingga kini. Masih ingat kasus Boby? Seorang mahasiswa Universitas Indonesia yang di DO karena memviralkan videonya yang membahas tentang haramnya pemimpin kafir.
Belun lama juga terdengar larangan menggunakan cadar bagi para mahasiswi di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang digadang-gadang sebagai pencegahan radikalisme dan fundamentalisme.
“Mungkin soal akidah nggak ada masalah. Tetapi kalau mereka melakukan ini, kan sudah banyak kasus di tempat-tempat lain, orang-orang didoktrin seperti itu. Akibatnya hanya akan menjadi korban dari gerakan-gerakan radikat itu,” kata Rektor UIN, Yudian Wahyudi.
Tidak cukup hanya itu, Barat terus melakukan propagandakan terhadap ajaran Islam lainnya seperti Khilafah. Khilafah digambarkan oleh Barat sebagai monster menakutkan. Padahal Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam, yang juga menjadi janji Allah serta kabar gembira dari Rasulullah saw. yang kelak akan kembali hadir menaungi seluruh dunia, sebagaimana yang tertuang di dalam surah an_Nur ayat 55.
Inilah ajaran Islam yang sebenarnya begitu ditakutkan oleh Barat. Mereka yakin akan kembali berjayanya Islam. Untuk itulah, berbagai upaya mereka lakukan demi menahan laju gemanya untuk kembali memperjuangkan dan menegakkannya.
Beberapa sampel ini cukup menjadi bukti bahwa virus Islamophobia masih menular hingga menyentuh para intelektual muda. Syariat Islam yang mulia didiskreditkan oleh mereka yang secara tidak langsung menjalankan misi Barat untuk mengubur hidup-hidup semangat menjalankan hukum-hukum Islam, dari ranah yang sifatnya publik sampai ke individu.
Seorang intelektual sejatinya adalah seorang pemikir yang tentu harusnya bisa meletakkan dengan benar yang mana sebuah kebenaran, dan mana yang mana kebathilan. Namun, tatkala virus Islamophobia ini menjangkiti, para intelektual tidak lagi mampu berpikir dengan ‘sehat’. Pemikiran mereka telah terbentuk dengan realitas dan seolah tak mampu membongkar apa yang ada di balik realitas tersebut.
Akibatnya, kaum intelektual semacam alergi dengan pemikiran-pemikiran Islam yang cemerlang, yang justru bisa mengalahkan pemikiran setara doktor maupun profesor. Kajian-kajian Islam yang ada di kampus pun dicurigai sebagai sarang pencetakan para teroris. Sedangkan kaum lebian, gay dan kawan-kawannya tidak dipandang sebagai masalah yang harus dituntaskan.
Di sinilah peran para intelektual muda muslim yang telah sadar akan kondisi buruk dan terpuruk ini, untuk segera membangunkan mereka yang tengah tertidur pulas agar segera bangkit. Menyadarkan bahwa virus-virus bahaya sedang mengancam mereka, serta menjadikan ajaran Islam sebagai solusi bagi segala problematika yang melanda, bukan justru phobia terhadapnya dan membingkainya sebagai ancaman, terlebih jika alergi dengan kata “Khilafah” yang juga merupakan ajaran Islam dan pangkal dari segala solusi.
Apalagi para intelektual muslim terlanjur terbuai dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang membuat mereka -yang notabene adalah penyambut estafet kepemimpinan masa depan- acuh tak acuh dan disibukkan dengan agenda-agenda pribadinya serta mencukupkan diri dan menganggap bahwa kemajuan teknologi sudah cukup mewakili kemajuan suatu bangsa. Wallahu a’lam bi ash-Showwab. [syahid/voa-islam.com]