Oleh: Ari Sofiyanti (Mahasiswa Biologi Universitas Airlangga)
Kegiatan Forum Untukmu Indonesia (FUI) dengan tema “Berkarya dalam harmoni” yang disebut-sebut sebagai pesta rakyat menjadi perhatian massa setelah tewasnya dua orang anak, Rizki Syahputra dan Mahesa Junaidi.
Dua bocah ini meninggal setelah berdesak-desakan mengantre demi menukarkan kupon sembako pada acara tersebut. Mencuatnya kabar kegiatan beratmosfir ‘kristen’ yang memakan dua korban ini membuat Panitia ‘pesta rakyat’ FUI dan Relawan Merah Putih mengadakan pertemuan untuk memberikan sejumlah uang serta menyampaikan bela sungkawa.
Mereka membawa amplop yang sudah tersobek dengan uang sejumlah 5 juta rupiah. Selain itu mereka juga melarang keluarga korban memberikan keterangan mengenai kematian anaknya. Bahkan ketika wartawan iNews tengah melakukan wawancara, sekelompok orang memaksa agar tim iNews meninggalkan lokasi. Mereka mengaku sebagai Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK).
Aparat Negara, sekali lagi lepas tangan dari tanggung jawabnya sebagai pelindung bagi rakyat. Hanya dengan melihat bagaimana sebuah kegiatan besar yang beraroma Kristen tetapi menjaring massa dari umat Islam mendapatkan izin dengan mudah dari kepolisian sudah menimbulkan ketidaknyamanan umat Islam.
Belum lagi kegiatan tersebut mengotori area Monas dengan sampah yang berceceran di mana-mana. Ditambah lagi kegiatan ini nyata-nyata telah merenggut nyawa dua anak manusia. Meskipun begitu, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono membantah bahwa dua anak tersebut meninggal akibat mengantre sembako di Monas.
Padahal ibu korban telah menyatakan dengan jelas bahwa anaknya meninggal di depan matanya meninggal karena berdesak-desakan di lautan manusia demi mendapat sembako yang sedikit menambal kebutuhan hidup keluarganya.
Begitulah kelalaian penguasa negeri ini, saling melempar tanggung jawab agar tidak dipersalahkan atas peristiwa yang memang sudah seharusnya menjadi kewajibannya untuk mengurus urusan rakyat. Penguasa yang banyak berpihak kepada pihak-pihak yang hanya menguntungkan mereka walaupun harus mengorbankan rakyat kecil dan pada akhirnya hanya rakyatlah yang menderita tanpa memperoleh hak keadilannya. Bahkan mereka tidak memiliki kesadaran atas berharganya satu nyawa anak kecil.
Hal ini tentu berbeda dengan yang dilakukan oleh Umar bin Khattab selaku pemimpin bagi kaum muslim yang rela memanggul karung gandum untuk sebuah keluarga kecil yang kelaparan di tengah malam. Demi kesejahteraan rakyatnya beliau dengan tanggap memperbaiki jalan tatkala ada seekor keledai yang terperosok jalanan yang berlubang.
Tentu saja Umar bin Khattab melakukan semua tanggung jawabnya atas dasar keimanan dan ketakutan pada Allah karena pemimpin yang lalai dalam tugasnya telah diancam dengan hukuman neraka oleh Allah.
“Siapapun pemimpin yang menipu rakyatnya, maka tempatnya di neraka” (HR. Ahmad)
Penting sekali untuk kita sadari bahwa keimanan dan ketakutan kepada Allah adalah dasar mutlak yang harus dimiliki oleh pemimpin dan aparat Negara. Dengan ketaatan kepada Allah sajalah setiap orang akan memenuhi tanggung jawab sesuai perannya sehingga tidak ada jalan lain bagi kita kecuali dengan Islam sebagai jalan hidup kita.
Sungguh, berharganya seorang nyawa manusia dan perlindungan terbaik pada keadilan dan kesejahteraan rakyat merupakan janji Allah yang diberikan bagi penduduk negeri beriman.
Karena Umar Bin Khattab bukanlah pemimpin yang berhasil memimpin negara yang tak mengindahkan aturan Allah, justru kualitas terbaik beliau muncul saat Islam menjadi pedoman semua manusia dalam segala urusannya.
Itulah faktor utama yang harus ada demi keadilan bagi semua warga negara yang nyata. Itulah jalan yang benar dan negara impian hamba-hamba beriman.
Maka wujudkanlah mimpi itu dengan masuknya kita ke dalam Islam secara kaffah, hingga tak ada satupun aturan Allah yang luput dari penerapannya di negeri yang saat ini penuh ketimpangan ini. Wallahu a’lam. [syahid/voa-islam.com]