Oleh:
SEMARAK kumandang takbir, tahlil, dan tahmid telah tiba. Semua umat Islam bersuka cita menyambut hari raya. Setelah berpuasa penuh selama bulan Ramadan.
Disisi lain ada kesedihan, Ramadan telah berlalu. Bulan dimana Allah limpahkan keberkahan dan ampunan. Dimana puasa yang diwajibkan akan mengantarkan pada derajat takwa. Kita tidak tahu apakah tahun depan masih bisa meneguk nikmatnya Ramadan ataukah tidak.
Ramadan menjadi tungku pembakaran dosa-dosa kita. Bahkan Allah hapuskan dosa kita hingga bersih seperti manusia yang baru dilahirkan. Kembali fitrah. Tentu saja ini diberikan kepada orang-orang yang puasa karena dorongan iman dan kesungguhan hati. Sebagaimana hadits Rasulullah Saw:
"Siapa saja yang berpuasa pada bulan Ramadan dengan landasan iman dan berniat ikhlas (bersungguh-sungguh mengharapkan ridla dan pahala Allah) akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Ahmad)
Secara fitrah manusia itu lemah dan terbatas. Ia membutuhkan Dzat yang Maha Agung. Yakni Allah Swt, karena Allah yang menciptakannya dengan segala potensi kehidupan. Kembali kapada fitrah maknanya kembali kepada Allah atas segala aturan kehidupan yang telah digariskan. Untuk itu sikap mengambil sebagian aturan Allah dan menolak sebagian yang lain, jelas ini bertentangan dengan fitrah manusia inilah yang menjadi sumber malapetaka.
Perhatikan saja, saat Ramadan umat Islam taat berpuasa. Al-qur'an dilantunkan hingga larut malam. Ibadah-ibadah sunnah dihidupkan. Tempat-tempat kemaksiatan ditutup. Tapi muamalah ribawi tetap berjalan. Kebijakan negara banyak yang memberatkan rakyat. Berpolitik jegal sana-sini demi kekuasaan semata. Kenapa semua itu terjadi? Karena manusia telah menyalahi fitrahnya. Tidak tunduk pada aturan Allah. Islam dibatasi pada ibadah ritual semata. Diluar itu semua Islam dicampakkan. Inilah sekularisme, pemisahan antara agama dengan kehidupan. Jika demikian mampukah puasa yang kita jalani mengantarkan pada derajat takwa?
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (Qs. Al-Baqarah: 183)
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepadaNya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (Qs. Al-Baqarah: 102)
Di dalam tafsir Jalalain dikatakan bahwa ayat itu menuntut agar Allah ditaati dan tidak didurhakai, agar seorang mukmin bersyukur kepadaNya dan tidak mengkufurinya, agar senantiasa mengingatNya, dan tidak melupakanNya. Sementara Syaikh Ali ash-Shabuni mengatakan 'haqqa tuqatih' maksudnya adalah dengan menjauhi segala bentuk kemaksiatan (kedurhakaan) kepadaNya.
Jadi, wujud takwa kepada Allah adalah menjalankan segala perintahNya dan menjahui segala laranganNya dalam segala aspek kehidupan. Baik pribadi, keluarga, masyarakat dan negara. Sebagaimana perintah Allah.
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu." (Qs. Al-Baqarah: 208)
Seorang muslim yang bertakwa tidak hanya khusyuk dalam shalatnya, tapi shalatnya juga mampu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Termasuk saat ia memenuhi kebutuhan hidupnya.
"Barang siap yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangka." (Qs. At-Thalaq: 2-3)
Masyarakat yang bertakwa tidak tinggal diam saat menyaksikan kemaksiatan dan kedholiman di depan mata. Ia akan cepat tanggap dan memberikan nasehat termasuk kepada penguasa yang menerapkan hukum-hukum kufur.
Takwa juga harus dilakukan partai politik. Dengan menjadikan Islam sebagai asas perjuangan. Menyeruh pada kebaikan dan mencegah pada kemungkaran. Anggota partainya juga orang-orang yang bertakwa. Bukan aktivis yang haus kekuasaan dan menyeruhkan paham yang bertentangan dengan Islam, seperti sosialisme, komunisme, sekulerisme, kapitalisme, demokrasi dan anak turunannya.
"Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeruh kepada al-khayr serta melakukan amar ma'ruf nahi mungkar." (Qs. Ali-Imran: 104)
Takwa juga seharusnya diwujudkan oleh negara. Dengan menerapkan hukum-hukum Islam. Para penguasa yang ketakwaanya juga tercermin dari tanggung jawab mengurusi rakyatnya.
"Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya, dan dia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Inilah takwa yang sesungguhnya. Terwujud dalam pribadi seoarang muslim, bagian dari masyarakat, berpolitik dan bernegara. Dengan menerapkan aturan Islam disegala lini kehidupan.[]