Oleh: Siti Maisaroh
Sebagai Negara agraris, Indonesia punya cita-cita mulia untuk para petani. Tak tertinggal juga dari catatan penting calon-calon pemimpin yang ingin memikat hati rakyat. Mereka membuat janji untuk mensejahterakan petani dengan program kerja yang sudah terencana.
Tetapi, benarkah para petani di negeri ini sudah sejahtera? Toh dengan bergantinya pemimpin pun tidak mampu merealisasikan cita-cita agar petani kunjung sejahtera.
Seringnya pemerintah melakukan impor beras, hal ini menyebabkan efek yang langsung menyentuh pada nasib para petani. Karena akan membuat kian rendahnya harga gabah yang petani jual. Apalagi ketika harus bersaing dengan beras impor yang bermerek.
Lantas, mengapa pemerintah melakukan impor beras, apakah stok beras yang diserap dari petani lokal tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat Negara ini?
Padahal, pihak Bulog kembali menegaskan bahwa stok beras nasional sangat aman menghadapi Ramadan dan Lebaran 2018. Stok beras yang berada di gudang Bulog saat ini tercatat melebihi 1 juta ton, yakni sekitar 1,2 juta ton.
Namun demikian, pemerintah Jokowi-JK kembali memutuskan untuk menambah impor beras sebanyak 500.000 ton. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita membenarkan adanya tambahan importasi beras sebanyak 500.000 ton yang didatangkan dari Vietnam dan Thailand, yang diputuskan dalam Rapat Koordinasi di Kantor Menteri Koordinator Perekonomian.
Hal ini sebelumnya diberitakan pada laman The Voice Of Vietnam Online (vov.vn), yang menyebutkan bahwa Perum Bulog telah menandatangani kontrak untuk melakukan pembelian beras sebanyak 300.000 ribu ton dari Vietnam dan 200.000 dari Thailand.
Dalam berita yang berjudul "Import Demand Continues Boosting Vietnam's Rice Export" tersebut, dinyatakan bahwa importasi tersebut merupakan yang kali ketiga sejak 2018. Chairman Asosiasi Makanan Vietnam (VFA) Nguyen Ngoc Nam membenarkan laporan itu. (Merdeka.com, 15 Mei 2018)
Transaksi pemerintah dengan pihak perusahaan impor khususnya Vietnam dan Thailand telah menyampingkan nasib para petani lokal. Karena selain petani mau tidak mau harus menjual berasnya dengan murah, petani juga harus ikut merasakan “Pahitnya” kenaikan harga barang-barang dan sembako lainnya selama Ramadhan menjelang Lebaran ini. Mungkin inilah yang kita sering menyebutnya musim peceklik. Melunjaknya harga-harga kebutuhan sedangkan pendapatan tidak mencukupi kebutuhan tersebut.
Petani sangat kebingungan, olehnya banyak yang berganti profesi menjadi pedagang-pedagang kecil atau kerja serabutan lainnya demi memenuhi kebutuhan keluarganya.
Lantas, apakah pemerintah tidak mampu menjadikan bangsa ini berdiri dikaki sendiri dalam arti mandiri akan hal pangan?
Selama negeri ini masih terikat dengan system Kapitalisme, maka wajar kalau pemerintah lebih memilih berkolaborasi asas manfaat dengan para Kapital daripada dengan rakyat kecil. Ingatlah dengan hadist Rasulullah Saw wahai para pemimpin… “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawabannya atas yang dipimpin, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya…..”(HR. Bukhari)
Pihak yang paling harus bertanggung jawab atas semua ini adalah para pemimpin dan rusaknya system Kapitalisme. Olehnya, sistem Islam hadir membawa solusi untuk mengatasi permasalahan ini. Pemimpin dalam system Islam tidak akan melakukan impor, kecuali memang sangat mendesak. Namun, Negara Islam punya antisipasi dijauh-jauh hari untuk menjaga kestabilan pasokan bahan pangan dalam negeri.
Negara bersistem Islam tidak akan menggadaikan nasib rakyat dan kemuliaannya untuk hal kemandiriannya. Negara akan memberikan perhatian optimal kepada para petani untuk bisa memproduksi beras dengan menyediakan infrastruktur, meningkatkan akses petani terhadap sarana produksi dan permodalan untuk pengadaan peralatan yang dibutuhkan. Waallahu ‘alamu bishowab. [syahid/voa-islam.com]