View Full Version
Ahad, 24 Jun 2018

Indonesia Terjebak Hutang Semakin Dalam

Oleh: Isna Rezqia (Mahasiswi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)

Utang pemerintah Indonesia tercatat hingga akhir Januari 2019 mencapai 357,5 miliar USD atau 5.107,14 triliun. Angka ini menujukkan kenaikan sebanyak 10,3 persen jika dibandingkan peningkatan pada akhir tahun 2017 yaitu sebesar 10,1 persen.

Padahal menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani Inrawati, jumlah hutang pada tahun 2017 saja jika dibagi dengan sebanyak jumlah penduduk Indonesia maka tiap orang menanggung utang sebesar Rp 13 juta.

Defisit anggaran yang dilakukan pemerintah merupakan merupakan penyebab utama dari kenaikan utang di Indonesia. Akibatnya pengeluaran lebih besar dibandingkan pemasukan anggaran. Selain itu, pinjaman luar negeri yang dilakukan oleh pihak swasta turut andil dalam kenaikan utang luar negeri.

Pengeluaran anggaran yang dilakukan pemerintah seperti yang diketahui bersama difokuskan pada pembangunan infrastruktur yang digencarkan. Namun Drajad Wibowo, ekonom senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menyayangkan hal tersebut karena tingkat penyerapan tenaga kerja di tengah masifnya pembangunan infrastruktur di Indonesia terbilang rendah. Tercatat penambahan penduduk bekerja selama pemerintahan Jokowi hanya sebesar 134,6 ribu orang.

Selain itu utang luar negeri digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang dinilai tidak mendukung ekonomi produktif. Seperti yang diketahui, pembangunan infrastruktur lebih banyak berupa jalan tol. Sedangkan pembangunan infrastruktur yang banyak menyerap tenaga kerja untuk pembangunan fasilitas perkotaan seperti gorong-gorong, trotoar, rusun dan fasilitas publik kurang dimaksimalkan.

Dampak peningkatan utang luar negeri dalam suasana perekonomian liberal kapitalis seperti saat ini jelas akan menyebabkan beban bagi rakyat dan generasi mendatang. Pemerintah dengan segala kebijakannya akan berusaha untuk melakukan penekanan pengeluaran dan penambahan pemasukan anggaran.

Penekanan pengeluaran berupa pencabutan subsidi-subsidi bagi rakyat dalam banyak sektor dan pemasukan anggaran yaitu dengan menaikkan pajak bagi rakyat. Maka lengkaplah penderitaan rakyat yang negaranya mengalami defisit anggaran yaitu pajak yang tinggi dan minimnya jaminan penghidupan dari pemerintah.

Peningkatan utang luar negeri di Indonesia yang cukup signifikan menunjukan suatu ironi dimana negeri yang dikenal dengan kekayaan sumber daya alamnya justru terjerat hutang yang makin dalam, seolah tidak ada lagi sesuatu yang dapat digunakan untuk membangun negara kecuali dengan utang. Hal ini secara tidak langsung menggambarkan betapa abainya pemerintah dalam mengelola kekayaan negeri ini.

Selain itu, utang luar negeri yang kian meningkat semakin menunjukkan bahwa negeri ini telah terperangkap dalam penjajahan gaya baru oleh imperialis kapitalis berkedok pinjaman. Utang yang harus dibayarkan beserta bunganya menjadikan Indonesia tidak berkutik di hadapan negara-negara pemberi pinjaman meski harus mengorbankan rakyat untuk menanggung semuanya. Aset-aset negara termasuk sumber daya alam pun dengan leluasa dikuasai oleh penjajah.

Berbeda halnya dengan kapitalisme, dalam sistem ekonomi Islam pengelolaan sumber daya alam berupa hutan, air, dan energi yang berlimpah wajib dikelola oleh negara. Islam memandang sumber daya alam sebagai kepemilikan umum. Oleh sebab itu, pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada swasta, akan tetapi harus dikelola sepenuhnya oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai bentuk sehingga tercapai kesejahteraan bagi rakyat.

Sudah saatnya pemerintah menyadari bahaya penjajahan ekonomi neo-liberalisme di balik utang luar negeri dan menyadari kesalahan tata kelola ekonomi negara akibat menerapkan ekonomi liberal kapitalis yang menyengsarakan rakyat.

Satu-satunya solusi untuk bisa lepas dari jerat utang luar negeri yang makin dalam adalah dengan menerapkan sistem ekonomi Islam dalam bingkai Khilafah yang dengannya Indonesia terselamatkan dari penjajahan berkedok utang. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version