Oleh: Dwi P. Sugiarti (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)
Semenjak bom surabaya yang terjadi pada bulan mei lalu dan kemudian menjalar ke beberapa wilayah di Jawa Timur aparatur negara dan pemerintah mulai melakukan tindak lanjut atas aksi tersebut di setiap lini. Mulai dari aksi "asal gebuk" orang-orang yang dicurigai teroris, sertifikasi 200 Mubaligh hingga munculnya pengesahan UU Terorisme.
Belum selesai berita bom bunuh diir pemerinta melalui Badan Inteligen Negara (BIN) melakukan pengawasan terhadap ulama dan intelektual kampus-kampus yang disinyalir menjadi sarang munculnya benih-benih radikalisme.
Di Kampus, Badan Intelijen telah mengumumkan akan menindak tegas orang-orang yang terbukti tergabung pada organisasi radikal dengan bekerjasama dengan para pejabat kampus. Dalam Direktur Komunikasi Badan Intelijen Negara (BIN), Wawan Purwanto menegaskan semua elemen bangsa harus terlibat secara penuh terhadap aksi-aksi terorisme, termasuk pihak universitas:
"Pemerintah tidak mampu bekerja sendiri. Berbagai elemen harus saling berupaya, terutama kalangan perguruan tinggi," tegasnya (Republika.co.id, 28/05/2018)
Upaya BIN ini rupaya bak gayung bersambut. Pihak kampus UI misalnya, telah menegaskan akan memberikan sanksi terhadap mahasiswa yang terbukti tergabung dalam organisasi terlarang.
"Sanksinya bervariasi, mulai dari teguran keras, skors, sampai dikeluarkan sebagai sivitas UI," ujarnya, (Tempo, 27/05/2018)
Tindak tegas pejabat kampus terus menjalar. Baru-baru ini Jabatan Prof Suteki yang merupakan salah satu guru besar di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang mulai hari ini dinonaktifkan sementara sesuai SK Rektor No. 223/UN7.P/KP/2018. Hal itu terkait dijalaninya pemeriksaan disiplin yang digelar karena dugaan anti-NKRI. (detiknews, 06/06/2018).
Padahal beliau selama ini sudah mengajar Pancasila selama 24 tahun. Yang terbaru, Menristekdikti Mohamad Nasir menginstruksikan para rektor untuk mencatat nomor handphone serta medsos seluruh mahasiswa. Termasuk mahasiswa baru. Tujuannya adalah mempermudah monitoring bersama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Inteligen Negara (nasional. sindonews.com, 07/06/2018).
Sungguh miris melihat kondisi hari ini. Atas nama penanggulangan terorisme semua lini dicurigai terseret dalam kubangan radikalisme. Istilah radikal dan paham radikalismepun kini lebih kental disudutkan pada islam dan simbol-simbolnya. Simbol islam seperti kata jihad dikaitkan dengan isu terorisme dan khilafah dikaitkan dengan paham yang bertentangan dengan NKRI. Ada apa dengan negeri ini?
Jika upaya pemerintah ini terus berlanjut maka islamophobia akan kian merajalela. Umat akan menjadi ragu ketika hendak mengikuti kajian islam. Sebab islamdan pengembannya sudah dicitranegatifkan. Hingga hari ini islam dipandang sebagai sesuatu yang memunculkan ketakutan.
Padahal negeri ini mayoritas beragama islam dan istilah jihad dan khilafah adalah bagian dari ajaran islam. Tentu kita perlu menilik sejarah bagaimana islam ikut berjasa menjadi salah satu alat pemersatu bangsa. Sejarah perjuangan negeri ini juga dibangun dengan pekikan takbir para ulama dan santri.
Jika tak ada islam yang menyatukan tak mungkin negeri ini bisa bersatu. sebab tak sedikitpun ada kesamaan budaya, bahasa hingga ras yang membawa pada sebuah negara bernama Indonesia. Menurut Pakar Sejarah dan Pergerakan Islam, Dr. Tiar Anwar Bachtiar menyebutkan bahwa dari deretan nama-nama kelompok budaya yang ada di Indonesia tidak ada satupun nama budaya kelompok "Indonesia" sehingga pasti Indonesia akan sangat sulit untuk menyebutkan apa "budaya Indonesia" itu?
Akan tetapi, kesadaran masyarakat warga negara tetap harus dibangun bahwa mereka adalah satu kesatuan antara satu dengan yang lainnya walaupun mereka berbeda-beda budaya, bahasa dan ras. (dikutip dalam bukunya yang berjudul Jas Mewah - Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah Dan Dakwah)
Para pelopor dan pembangun negeri ini tentu berpikir untuk mencari kesamaan unsur-unsur yang bisa menyatukan kelompok dan kerajaan-kerjaan hingga akhirnya terbentuk sebuah negara bernama Indonesia. Fokus mereka bukan pada perbedaan yang sejatinya adalah sunatullah. Pemahaman yang benar tentang peran islam ini perlu dibangun krmbali agar tak melahirkan antagonisme "Islam vs Indonesia".
Pemahaman yang salah terhadap peran Islam juga akan menjadikan islam terus disalahkan dan ajarannya menjadi sumber dari radikalisme. Lebih parahnya akan muncul kelompok-kelompok yang menjadi tertuduh, melakukan perlawanan baru sebagai gerakan antinegara hanya karena penangangan radikalisme oleh negara yang kebabalasan.
Kira pemerintah harus paham betul tentang posisi islam dan Indonesia dan berterimakasih terhadap islam bukan malah mencitranegatifkan islam atau bahkan mengaitkan islam dan pengembannya dengan terorisme dan radikalisme.
Negara seharusnya perlu membangun pola pengajaran baru mengenai peran islam yang sangat penting terhadap negara ini di awal berdirinya. Di tengah upaya membangun pengajaran yang objektif antara islam dan Indonesia tentu pemerintah harus tetap memberikan pengamanan dan perlindungan terhadap negeri ini bukan malah membuat masyarakat merasa terawasi dan dicurigai.
Agar kelak masyarakat merasa tergerak sendiri untuk mempertahankan dan melindungi negeri ini dari keterjajahan atas dasar kesadaran bukan oleh anjuran dan paksaan negara. Wallahu'alam. [syahid/voa-islam.com]