Oleh : Ain Al Rofiq (Entrepreneur Muslim)
Untuk kesekian kalinya dunia kampus kembali mendapatkan ujian dalam perjalanannya. Kerikil tajam yang dulu pernah menghadangnya di era Orba kini kembali hadir dengan bentuk yang lebih tajam dan menyayat.
Di tahun 70-an Rezim Soeharto dengan dalih NKK-BKK-nya mengamputasi sikap kritis dan politis mahasiswa terhadap pemerintah. NKK BKK telah merampas iklim akademik yang argumentatif dan berpikir dialogis menjadi ciri khas dunia kampus dan menggantinya dengan keputusan mutlak lewat tangan kekuasaan.
Dulu NKK-BKK muncul setelah demo mahasiswa besar-besaran dipimpin Hariman Siregar yang mengkritik kebijakan ekonomi liberal rezim Soeharto yang menyulut amarah sang Presiden. Lalu presiden mengerahkan militer untuk menumpas gerakan mahasiswa dan terjadilah peristiwa malari.
Kejadian berdarah inilah yang menjadi trauma berat dunia kampus terhadap sikap pemerintah dalam menangani kritisisme warga kampus. Maka stempel “Rezim diktator dan represif” sangat pantas disematkan pada rezim Soeharto ini.
Lain dulu lain sekarang, kebijakan Rezim Jokowi hari ini ternyata juga mengulang masa-masa Soeharto. Di zaman 20 tahun setelah reformasi yang katanya demokratis ini kebebasan menyampaikan kritik kepada pemerintah malah dimusuhi. Mahasiswa yang dengan julukannya agent of change bisa memberi kritik malah dibungkam dengan dalih Anti NKRI.
Dosen yang dengan keilmuannya bisa memberi solusi carut-marutnya negeri ini malah dipersekusi, diancam-ancam akan dipecat, dan bahkan sudah ada yang dicopot jabatan fungsionalnya. Kaum intelektual yang dengan kecerdasannya menjelaskan kerusakan tatanan kehidupan sekarang malah dilarang ceramah di sana-sini.
Dan semua faham, sikap represif pemerintah ini berawal dari berbedanya pandangan para intelektual dengan kebijakan rezim baru-baru ini. Seperti kebijakan UU Ormas yang kini menjadi Perppu Ormas dan kebijakan Pembubaran Ormas HTI. Dan siapapun yang berbeda pendapat dengan pemerintah mengenai dua kebijakan tadi akan dibabat. Dan kebetulan banyak intelektual kampus yang berseberangan dengan rezim sangat vokal menyuarakan pendapatnya.
Belum lagi stigma radikal yang disematkan kepada Kampus-kampus negeri hanya karena banyak mahasiswanya mempunyai sikap kritis terhadap rezim dan memiliki spirit Islam Politik. Lalu masuknya Densus 88 ke salah satu kampus di Riau yang menjadikan psikologi mahasiswa dan akademisi takut untuk bersikap kritis.
Serta yang terbaru yakni, instruksi Menristekdikti untuk mengawasi akun Sosmed Dosen dan Mahasiswa. Maka dengan serangkaian kebijakan ini tidak salah kalau julukan “Rezim demokratis rasa diktator” pantas disematkan kepada rezim ini.
Pertanyaannya? Berhentikah nalar kritis intelektual mahasiswa dan dosen? Takutkah mereka terhadap ancaman rezim? Jawabannya TIDAK. Setelah NKK-BKK dilaksanakan aksi-aksi mahasiswa masih terus digencarkan meski tidak semassif sebelumnya.
Hingga mahasiswa bersama seluruh elemen rakyat menemukan momentumnya di tahun 1998. Runtuhnya rezim diktator Orde Baru menjadi penanda bahwa nalar kritis dan akal sehat akan memenangkan pertarungan.
Begitu juga saat ini. Mahasiswa, dosen dan kaum intelektual lainya terus bergerak bak bola salju menggelinding semakin besar untuk menjemput momentumnya. Maka tunggulah momentum kemenangan gerakan intelektual kampus yang kritis terhadap rezim. Dan waktu itu semakin dekat. Insya Allah. Wallahu a’lam bi showab. [syahid/voa-islam.com]