View Full Version
Rabu, 27 Jun 2018

Ketika Pancasila Menjadi Dalih Politis

Oleh: Rifka Fauziah Arman A.Md. Farm.,  

(Tenaga Teknis Kefarmasian dan Aktivis Generasi Peradaban Muslimah)

Belum lama ini terdengar kabar tentang gaji ratusan juta rupiah pada lembaga yang diterbitkan oleh Perpres nomor 42 tahun 2018 yaitu Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Badan yang diterbitkan oleh pemerintah terdiri dari beberapa petinggi di Indonesia, seperti Megawati Soekarnoputri, Try Sutrisno, Ahmas Syafi’I Ma’arif, Said Aqil Sirajd, Ma’ruf Amin, Mahfud MD, Sudhamek, Andreas Anangguru Yewangoe dan Wisnu Bawa Tenaya selaku Dewan Pengarah BPIP.

Dilansir dari kompas.com(29/5) Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Dewan Pengarah BPIP digaji 112 juta rupiah per bulan. Sedangkan jajaran Dewan Pengarah lainnya digaji 100 juta rupiah per bulan. Kepala BPIP Yudi Latif digaji 76 juta rupiah per bulan, selanjutnya Wakil Kepala 63 juta rupiah dan Staf Khusus 36 juta rupiah.

Presiden membuat lembaga BPIP ini bertujuan “membantu” dalam menyelesaikan masalah tentang Pancasila di Indonesia yang sedang memanas beberapa akhir tahun ini semenjak kejadian penistaan agama yang dilakukan mantan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2016.

Rasa Pancasila atau Nasionalisme ini muncul saat adanya perseteruan dan perbedaan pendapat antaragama di Indonesia dengan aksi-aksi yang timbul oleh ummat Islam yang menurunkan jutaan ummat untuk membela Alquran dan ulama yang dinistakan oleh pemerintah.

Permasalahan ideologi Pancasila ini selalu ditimbulkan dalam setiap kegiatan pemerintahan. BPIP berperan dalam menanamkan jiwa-jiwa Pancasila ini dalam setiap penduduk warga Indonesia. Padahal terlihat sekali tujuan BPIP ini hanya menyasar pada organisasi atau individu yang dibina untuk menanamkan Pancasila agar tidak melakukan aksi terorisme atau mengikuti organisasi yang dicap oleh pemerintah “Radikal”.

Sedangkan Pancasila ini dibuat berdasarkan Alquran yang menjadi pedoman ummat Islam, lalu mengapa hanya Islam yang dicap radikal dan perlu adanya pembinaan ideologi Pancasila.

Kemudian masalah pendanaan gaji BPIP ratusan juta rupiah yang menimbulkan pro dan kontra. Gaji yang diberikan kepada dewan serta staf BPIP menurut Mahmud MD (detik.com),  bukan dibiayai oleh negara, lalu dari mana BPIP mendapatkan dana sebanyak itu untuk menggaji anggota petinggi di Indonesia. Disaat anggota BPIP digaji dengan fantastis, di sisi lain utang Negara bertambah dengan mencengkik rakyat Indonesia untuk segera membayar pajak tepat waktu.

Jika BPIP ini dibentuk untuk pembinaan Pancasila, seharusnya orang yang berada di dalam lembaga ini orang-orang yang ahli dalam Pancasila, tetapi guru ahli dalam Pancasila malah dicap tidak Pancasila dan terancam dinonaktifkan oleh Menristekdikti karena kritiknya tentang Pancasila.

Lalu apakah BPIP akan menyeselaikan masalah di Indonesia sesuai dengan Pancasila sedangkan beberapa hari yang lalu saat media memberitakan tentang pendanaan gaji BPIP saja diserang oleh partai PDIP yang merupakan salah satu partai pendukung Ketua Dewan Pengarah BPIP. Lalu dimana letak rasa Pancasila mereka yang mengaku paling Pancasilais?

Pancasila yang digembargemborkan oleh pemerintah seolah menjadi senjata untuk membungkam rakyat yang ingin tidak ikut campur dalam urusan politik dan menjauhkannya dari sisi agama. Pancasila dijadikan faktor utama untuk mengambil hati rakyat Indonesia dalam berpolitik, padahal pemerintah sendiri banyak yang tidak sesuai dengan Pancasila ini.

Sebagai contoh para pejabat pemerintah yang mempunyai ratusan kasus korupsi membawa nama-nama besar bahkan sampai pada presiden sebagai salah satu pejabat yang “terciprat” uang haram tersebut. Seakan-akan sudah tidak ada lagi “Kemanusiaan yang adil dan beradab” seperti pada sila kedua dalam Pancasila.

Alquran dan As-Sunnah jika diterapkan dalam suatu negara tidak akan berpengaruh kepada kekuasaan, kekayaan dan silsilah keluarga dalam memimpin negara. Alquran adalah hukum yang kekal dan tidak akan berubah karena berasal dari Allah SWT sang Khaliq.  Sudah selayaknya Alquran dan As-Sunnah dipergunakan untuk mengatur seluruh kehidupan manusia.

Pancasila memang mengandung nilai-nilai dalam Alquran, maka seharusnya kembali kepada Alquran karena kitab inilah pemersatu antarummat, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para Khalifah terdahulu.

Tidak ada yang terpecah belah dan saling mendamaikan antaragama, suku dan bangsa. Gaji yang diberikan oleh Khalifah kepada staf kenegaraannya pun didapat dari dana yang sudah diporsikan bukan menguras duit rakyat dan dinikmati oleh pemimpin Negara saja.

Indonesia sudah punya polisi dan TNI yang lebih terlatih dan mengetahui arti Pancasila yang sebenarnya, lalu untuk apa BPIP ini dibuat? Lantas bagaimana kepolisian dan kemiliteran bekerja? Bukankah mereka mengabdi untuk melindungi rakyat, Negara dan Pancasila? [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version