Oleh: Dwi Maulidiniyah
(Koordinator pusat Back to Muslim Identity Community)
Sebulan sudah kita berpuasa di bulan Ramadhan, dimana bulan turunnya Al-Qur’an, yaitu sebuah pedoman hidup sebagai petunjuk dan Al furqan (pembeda antara yang haq dan yang bathil) sebagaimana terdapat dalam Al-Baqarah ayat 120.
Sudah sangat jelas dan tidak dapat dibantah oleh apapun dan oleh siapa pun firman Allah ini, bahwa Al Qur’an adalah petunjuk kita dalam kehidupan agar kita selalu berada dalam keadaan yang haq( benar) dan menghindari yang bathil (salah), maka untuk membedakan haq dan bathil ini kita membutuhkan Al Qur’an yang selalu berlaku disetiap zaman.
Jika kemudian seorang Yahya Staquf, menyatakan bahwa Al-Quran ini hanya sebuah dokumen sejarah, tentu hal ini sangat tidak benar. Di dalam Al Qur’an pun menceritakan tentang hari akhir (kiamat) yang terdapat di dalam beberapa surat di Al-Qur’an, tidak hanya satu.
Maka sudah jelas salah, jika firman Allah tentang kiamat itu dikatakan sejarah, karena belum pernah terjadi. Begitu pun, ketika di dalam Al-Qur’an terdapat kabar tentang air asin dan air tawar tidak pernah bersatu, beribu tahun setelah Al-Quran ini pun turun , seorang ilmuan barat menemukan apa yang difirmankan Allah beribu tahun sebelumnya ,salah satunya di laut mediterania dan laut atlantik di selat giblartar.Maha besar Allah.
Jadi sungguh tidak pantas, jika seorang manusia, apalagi dia seorang muslim, kemudian mengatakan bahwa AL-Quran adalah dokumen sejarah yang perlu dikaji ulang dan disesuaikan dengan kondisi saat ini.
Miriis. Pada realitasnya beribu-ribu tahun Al Qur’an selalu cocok di setiap zaman. Zaman lah yang harusnya mengikuti Al-Qur’an,bukan Al-Qur’an yang mengikuti zaman sehingga harus diubah agar sesuai zaman. Naudzubillah…
Sebagaimana ketika kita melakukan sebuah perjalanan, maka untuk sampai pada suatu tujuan kita akan melihat petunjuk, jika petunjuk menunjukan belok kanan, maka kita akan mengikutinya. Jika kita berjalan tidak sesuai petunjuk, maka kita akan tersesat dan jauh dari tujuan.
Begitu pun hidup ini, ketika Allah mengatakan bahwa Al Qur’an adalah petunjuk hidupnya manusia, maka kita tidak boleh membantah, menawar apalagi kemudian menghapuskan isi dari petunjuk itu semau kita karena kita akan tersesat jika melakukannya.
Ketika petunjuk peta saja kita sami’na wa atha’na, maka begitu kita harus bersikap yang sama kepada Al-Qur’an, sami’na wa atha’na. Menjadikan Islam sebagai sebuah rujukan hidup kita, rujukan perilaku kita, rujukan keputusan kita, bahkan rujukan pergerakan kita sebagai aktivis mahasiswa.
Maka setelah usainya Bulan Ramadhan ini, bulan turunnya Al-Quran, bulan dimana kita dicuci agar setelahnya ketaqwaan kita kepada Allah bertambah, mari menjadikan Islam dan Al Qur’an sebagai visi dan pedoman gerakan kita sebagai aktivis mahasiswa. [syahid/voa-islam.com]