Oleh: Ahmad Ghozi Abdullah (STEI SEBI)
Setiap suatu perusahaan maupun Negara yang sedang dalam sebuah pembangunan dan pengembangan tidak dapat di pungkiri pasti membutuhkan suatu dana yang besar. Dana tersebut dapat didapatkan melalui beberapa cara, yang di antaranya dengan hasil dari penjualan produk/swasembada pangan ataupun dengan mengambil jalan berutang.
Tentulah suatu dana untuk pembangunan tersebut tidak hanya dapat mengandalkan hasil penjualan, karena untuk mendapatkan dana yang besar dalam waktu cepat tidak mungkin dengan mudah didapatkan dari hasil penjualan.
Maka sebagian pengambilan keputusan lebih memilih mengambil jalan berutang untuk mendapatkan dana instan. Dan tentunya setiap kebijakan yang di ambil masing-masing memiliki tingkat resiko tergantung komposisinya dalam pembiayaan. Maka haruslah adanya manajemen khusus untuk mengatur bagaimana pemakaian dana itu secara efesien agar menurunkan tingkat resikonya.
Salah satu resiko dari kebijakan berutang adalah adanya bunga atau imbalan yang di berikan atas dana yang di gunakan. Bagi sebuah Negara dalam membangun insfrastukutur akan membutuhkan dana yang instan, karenanya kebanyakan Negara lebih memilih untuk mengambil utang sebagai pondasi pembangunan. Padahal perlu di cermati, utang dalam takaran yang besar memiliki timbal balik resiko yang besar. Bunga yang harus di bayarkan akan menambah kewajiban cicilan pokok utang yang di bayarkan nanti.
Di Indonesia Pada tahun 2012 beban utang mencapai 275 triliyun dan terus meningkat setiap tahunnya sehingga pada 2016 beban utang telah mencapai 505,4 triliyun. Berdasarkan keadaan tersebut seharusnya pemerintah lebih memperhatikan pembengkakan utang agar tidak memberatkan anggaran Negara atau APBN.
Utang pemerintah Indonesia di sebabkan banyaknya keluaran yang harus di keluarkan Negara seperti, belanja negara yang jumlahnya sangat besar, biaya investasi sektor publik dan untuk keperluan pembiayaan anggaran. Namun di banding pengeluaran anggaran Negara tersebut, Penerimaan pajak yang menjadi andalan pendapatan negara diluar penerimaan minyak dan gas ternyata belum mampu untuk membiayai kebutuhan belanja Negara,sehingga Negara butuh dana tambahan dari utang untuk menutupi kekurangan tersebut.
Dalam rangka memenuhi target pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di berbagai sektor, Pemerintah masih memerlukan pembiayaan melalui utang. Utang Pemerintah Pusat sampai dengan bulan Juni 2017 sebesar Rp3.706,52 triliun, terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp2.979,50 triliun (80,4%) dan pinjaman sebesar Rp727,02 triliun (19,6%). Dibanding bulan sebelumnya, utang Pemerintah Pusat bulan Juni 2017 secara neto meningkat sebesar Rp34,19 triliun berasal dari penerbitan SBN (neto) sebesar Rp35,77 triliun dan pelunasan pinjaman (neto) sebesar Rp1,59 triliun. (www.djppr.kemenkeu.go.id).
Utang luar negeri Indonesia pada 2017 naik 10,29% mencapai US$ 352,89 miliar atau sekitar Rp 4.733,28 triliun (kurs Rp 13.413/dolar AS) dari akhir tahun sebelumnya. Jumlah tersebut setara dengan 34,68% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kemudian, pada Januari 2018, utang luar negeri kembali meningkat US$ 4,65 miliar menjadi US$ 357,54 miliar atau Rp 4.795,75 triliun. Terdiri dari utang pemerintah US$ 183,39 miliar dan utang swasta US$ 174,16 miliar. (www.databoks.katadata.co.id)
Pemerintah harus waspada karena negara-negara seperti Yunani, Ekuador dan Zimbabwe adalah contoh negara yang bangkrut akibat pengelolaan yang buruk dan berlebihan dalam melakukan utang untuk keperluan negaranya. Utang adalah pedang bermata dua.
Apabila digunakan secara bijak dan tidak berlebihan, pemanfaatan utang dapat meningkatkan pertumbuhan pendapatan dan kesejahteraan. Sebaliknya, bila digunakan dengan ceroboh dan berlebihan, hasilnya bisa menjadi bencana dan kebangkrutan suatu negara (Checchetti, 2011).
Jika di lihat dari sudut pandang islam terkait utang dan bunga/riba memiliki dampak dari segi ekonomi yaitu pertama, sistem ekonomi ribawi telah banyak menimbulkan krisis ekonomi di mana-mana sepanjang sejarah (sejak tahun 1930 sampai saat ini).
Dulu sistem ekonomi ribawi menjadi puncak utama penyebab tidak stabilnya nilai uang sebuah negara, karena uang senantiasa akan berpindah dari negara yang tingkat bunga riel yang rendah ke negara yang tingkat bunga riel yang lebih tinggi akibat para spekulator ini. Kedua, di bawah sistem ekonomi ribawi, terjadinya kesenjangan ekonomi di sebuah Negara menjadikan sehingga yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin dari praktik riba ini.
Ketiga, dalam konteks Indonesia, dampak bunga tidak hanya sebatas itu, tetapi juga berdampak terhadap pengurasan dana APBN. Bunga telah membebani APBN untuk membayar bunga obligasi kepada perbankan konvensional yang telah dibantu dengan BLBI. Selain bunga obligasi juga membayar bunga SBI. Pembayaran bunga yang besar inilah yang membuat APBN kita defisit setiap tahun.
Dengan dampak yang di dapat dari adanya utang riba seperti yang di sebutkan, dampak yang di hasilkan dari ribawi jauh lebih besar ketimbang apa yang kita terima. Proyek jangka panjang utang Negara akan menyengsarakan Negara itu sendiri dengan bunga yang mencekik APBN kita.
Belum tentu Negara dapat membayar pokoknya, karena bisa jadi untuk membayar bunganya aja sudah kesulitan, dengan bunga maka terjadi Inflasi yang akan menurunkan daya beli atau memiskinkan rakyat dengan asumsi cateris paribus.
Dengan fakta tersebut, Allah telah memperingatkan kita untuk tidak melakukan sistem riba yang sejatinya tidak membangun, tapi justru menghancurkan sendi-sendi perekonomian ummat meliputi negara, bangsa dan masyarakat secara luas.
Dalam firman-Nya Allah telah memperingatkan kita atas perilaku riba, “Telah nyata kerusakan di darat dan di laut, karena ulah tangan manusia, supaya kami timpakan kepada mereka akibat dari sebagian perilaku mereka. Mudah-mudahan mereka kembali ke jalan Allah."
Dari ayat ini jika di lihat dari kontekstual ayatnya mengarah pada sistem ribawi yang kita jalankan. Kehancuran ekonomi dunia dan termasuk Indonesia di sebabkan dengan terjalannya sistem ribawi yang bertolak belakang dengan nilai pancasila tentang kemanusiaan dan keadilan yang seharusnya Indonesia terapkan di sistem perekonomiannya pula.
Islam melarang segala bentuk riba termasuk riba dari utang-piutang, bahkan dosa yang kita dapatkan dari sistem ribawi sangatlah besar melebihi dosa zina. Bukan berarti berhutang tidak di perbolehkan, tetapi utang yang menimbulkan riba lah yang Allah haramkan. Allah telah menghalalkan jual beli untuk meningkatkan perekonomian Negara.
Indonesia dengan seluruh sumber kekayaannya seharusnya sangatlah bisa untuk menopang perekonomian Negara, jika kita sebagai masyarakatnya mau berusaha mengelola sumber daya dengan baik dan efesien, maka sedikit demi sedikit kita bisa memperbaiki pertumbuhan ekonomi dan mengindari riba secara perlahan. [syahid/voa-islam.com]
Sumber :
Website
https://databoks.katadata.co.id
Jurnal
RIBA (Tinjauan Konsep dan Dampaknya dalam Perekonomian Umat) Oleh: S. Pumamasari.
“Peluang Pembiayaan Infrastruktur Melalui Sukuk Negara”Oleh Eri Hariyanto, pegawai Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan.
Pengaruh Penerimaan Pajak, Belanja Negara, Dan Pembiayaan Anggaran Terhadap Peningkatan Utang Pemerintah Pusat Periode Tahun 1981-2016 Oleh Budi Santoso