Oleh: Winda Sari (Mahasiswi)
Rasa-rasanya membangun citra diri di hadapan rakyat menjadi kebutuhan penting sekarang ini. Kalau tidak ada pencitraan, tidak akan bisa maju untuk duduk di kursi pemerintahan. Begitulah kondisi politik di negeri ini dan itu terjadi saat ini.
Mungkin politik negeri ini merupakan politik era pencitraan diri, di mana aktivitas pencitraan diri saat ini sedang naik daun. Hal ini disebabkan karena ketakutan dari penguasa dan orang-orang yang punya modal jika saja mereka kehilangan eksistensinya. Tapi apakah pencitraan diri mereka sebanding dengan kinerjanya?
Ternyata tidak. Yang namanya pencitraan diri itu menarik perhatian dengan bertingkah laku baik di hadapan rakyat. Lalu ketika di belakang rakyat apa yang mereka lakukan? Mereka injak-injak rakyat dengan segala kebijakan dan peraturan yang tidak manusiawi.
Maklum saja, karena zaman sekarang bukan lagi memakai aturan Islam, jadi dalam membuat peraturan dan kebijakan seenaknya sendiri. Asal mereka bahagia, dapat uang dan kekuasaan tidak peduli nasib rakyat dan kondisinya bagaimana.
Sebelum terpilih luar biasa kampanyenya, rakyat disayang-sayang, tetapi setelah terpilih, seperti sekarang ini, rakyat diabaikan. Membuat kebijakan yang menguntungkan asing. Menyuruh asing untuk investasi di negeri ini. Pertanyaannya, mengapa harus asing? Bukannya sumber daya manusia di negeri ini melimpah ruah sampai tumpah-tumpah?
Walaupun melimpah ruah sampai tumpah-tumpah penguasa masih berpihak kepada asing. Memangnya apa yang asing berikan untuk negeri ini? Memberikan utang, dengan syarat ini dan itu. Contonya saja China. Indonesia bekerja sama dengan China, dan China memberikan bantuan berupa uang dalam bentuk utang dengan syarat tenaga kerja asing dari China harus bekerja di Indonesia, bukan hanya itu, China juga memberlakukan sistem bunga.
Bagaimana mau mandiri negeri ini kalau penguasanya bekerja sama dengan pihak yang begitu getol untuk mencekik rakyat dan juga bangsa ini. Apa penyebab semua ini? Semua bersumber pada akarnya. Akar permasalahan atas semua yang terjadi di negeri ini adalah rusaknya sistem yang diterapkan.
Kalau akarnya tidak dicabut sampai tuntas maka akan ada kemungkinan dapat tumbuh pohon lagi. Sama halnya dengan demokrasi, kalau demokrasi tidak ditumbangkan sampai tuntas hingga tidak ada jejaknya, maka masih akan ada kemungkinan untuk membangun pencitraan diri dan masuknya asing di negeri ini.
Terlebih lagi aktivitas pencitraan diri ini juga membutuhkan uang. Bagaimana tidak membutuhkan uang, kondisi rakyat saja memilukan butuh sandang, pangan, termasuk uang. Pencitraannya tak hanya cukup bagi-bagi sembako, bahkan sampai ke pelosok daerah kecil dengan dalih rendah hati agar dipandang merakyat.
Tapi rakyat negeri ini sudah tidak bisa ditipu lagi, rakyat sudah paham kalau saatnya semuanya kebobrokan di negeri ini harus ditumbangkan. Demokrasi ditumbangkan, termasuk juga pemimpinnya dan orang-orang yang ada di belakangnya.
Tumbangkan demokrasi, tumbangkan pemimpinnya. Ganti dengan sistem Islam, ganti dengan kepemimpinan yang menyeluruh yang dipimpin oleh seorang khalifah yang menerapkan aturan Islam tidak hanya dalam masalah ibadah sholat zakat puasa haji, tetapi ke seluruh pelosok kehidupan termasuk dalam politik yang menyangkut kehidupan ummat. [syahid/voa-islam.com]