View Full Version
Rabu, 18 Jul 2018

Minyak Dirampok, Rakyat Menjerit

Oleh: Rina Yulistina, S.E

Bukan kali pertamanya pemerintah menaikkan harga BBM. Sejak era Soeharto hingga Jokowi, BBM tak pernah absen naik.

Tercatat, pada era Soeharto tiga kali BBM naik. Gus Dur dua kali, Mega dua kali, SBY empat kali,  dan saat ini di bawah kekuasaan Jokowi telah 12 kali. Memang fantastik hanya menjabat 4 tahun telah 12 kali menaikkan BBM.

BBM naik, mengakibatkan inflasi ikut naik. Mulai dari biaya transportasi hingga kebutuhan pokok akan meroket. Dampaknya akan sangat luas mulai dari rumah tangga, pelaku bisnis, hingga kelangsungan pabrik.

Rumah tangga akan kesusahan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pelaku bisnis akan putar otak untuk mengalokasi biaya produksinya apalagi jika BBM termasuk biaya tetap, sedangkan biaya variabel juga ikut naik. Pabrik juga tak kalah kelimpungan. Pada akhirnya sedikit demi sedikit akan melakukan PHK karyawan. Jika tak tertolong lagi, gulung tikar.

Kondisi naiknya BBM pasti akan mengurangi daya beli masyarakat. Padahal dalam teori ekonomi Kapitalisme, roda ekonomi digerakkan konsumsi. Jika konsumsinya macet, pasti akan memperlambat pertumbuhan ekonomi sehingga menciptakan kemiskinan.

Alasan untuk menaikkan BBM pun  klasik. Rakyat sudah sangat bosan mendengarnya. Mulai dari harga minyak dunia naik, subsidi yang memberatkan APBN, rakyat harus dilatih mandiri dan alasan  lainnya.

 

Benarkah alasan tersebut?

Tuduhan bahwa APBN terbebani akibat subsidi sebenarnya tidak benar.Jika kita amati Subsidi energi di tahun 2014 (400 triliun), 2015 (150 triliun), 2016 (100 triliun) dan di tahun 2017 hanya (77,3 triliun). (kemenkeu.go.id). Justru alokasi subsidi tiap tahun terus menurun. Tidak ada kaitannya dengan murah atau mahalnya harga minyak dunia.

Karena kebijakan moneter telah disetir oleh asing akibat dari perjanjian utang kepada IMF. Alokasi pengeluaran APBN terbesar justru dari Utang Luar Negeri tahun 2015 (380,9 triliun), 2016 (371,6 triliun), 2017 (384,7 triliun). Dan infrastruktur naik 123,4% tahun 2017 (387,3 triliun). (kemenkeu.go.id).

89,68% APBN dari pajak rakyat (tempo.co). Rakyat diperas hingga kering kerontang untuk membiayai negara sementara ia tak mendapatkan apa yang seharusnya didapat.

Fungsi negara dalam Islam adalah mengurusi urusan rakyat. Sehingga wajar jika negara memberikan pelayanan maksimal pada rakyatnya. Ibarat ayah yang wajib membiayai nafkah anaknya. Apakah wajar jika ia melepas tanggung jawabnya bahkan memeras darah dagingnya?

Hubungan negara-rakyat seharusnya bukan seperti hubungan penjual-pembeli, dimana negara berharap dapat keuntungan dari rakyat. Jadi siapa yang harus mandiri,  rakyat ataukah negara? Inilah salah satu kelicikan kapitalis.

Harga minyak duniapun saat ini juga sedang mengalami penurunan US$ 1,93 menjadi $77,3. Disebabkan meningkatnya produksi kilang minyak di Saudi dan Rusia. Tapi mengapa minyak malah dinaikkan? Lagipula berapa selisih antara pendapatan dan pengeluaran produksi BBM pun semenjak dulu pemerintah tidak pernah transparan.

 

Akar Masalah

Jika kita kritisi maka letak permasalahannya berada pada privatisasi minyak dengan dalih investasi dan penjualan minyak yang dilempar di pasar bebas, yang harus di kontrol oleh Dolar dan Poundsterling.

Sejak zaman penjajah hingga yang katanya merdeka ini, asing terus mengincar SDA di bumi pertiwi. Dengan dalih investasi.

Sejak Orla pada tahun 1958, pemerintah bersama DPR telah mengeluarkan UU PMA nomer 78 tahun 1958. UU tersebut pun semakin berkembang dengan bergantinya rezim. Diamandemen sana sini namun tetap satu jiwa yaitu penjajahan lewat investasi.

Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Narwi Messi mengungkapkan, bahwa perusahaan asing masih dominan dalam proyek pengeboran migas. Sehingga perusahaan swasta nasional tidak dapat proyek pengeboran tersebut. (dektikfinance.com)

Itulah sebabnya dalam data Wood Mackenzie menyatakan bahwa Pertamina hanya menguasai 10% ladang minyak bumi pertiwi (liputan6.com).

Belum lagi kondisi Pertamina yang "disengaja" untuk di runtuhkan oleh pemerintah. (RMOL.com).

Bagaimana tidak diruntuhkan jika pemerintah, kementrian dan lembaga, BUMN lain berbondong-bondong berutang BBM di Pertamina tanpa mau membayar. Selain itu, pemerintah menekan Pertamina untuk membiayai biaya eksplorasi dan eksploitasi migas sendiri,  padahal biaya tersebut tak murah.

Itulah penyebab Indonesia yang kaya raya minyak ini bukan menjadi negara eksportir namun malah importir.  Bukan karena permintaan naik dan penawarannya rendah, seperti yang sering di dengung-dengungkan pemerintah.

Disamping itu, minyak dunia diperjual belikan di pasar bebas layaknya bursa saham, sehingga harga minyak sangat fluktuatif. Hal ini diperparah dengan standart dua mata uang yang dijadikan transaksi yaitu dolar dan poundsterling.

Disinilah letak penipuannya. AS dan Inggris bukanlah negara eksportir di OPEC, namun mereka mempunyai kendali penuh. Inilah pembeda negara pemilik ideologi kapitalis neolib dengan follower.

Negara kita tercinta, yang memiliki ladang minyak melimpah ruah namun dengan dermawannya menyerahkan ke asing. Sehingga Indonesia harus menjadi negara importir yang senantiasa membeli minyak ke negara yang merampok minyak kita. Dengan memakai dolar, maka semakin ia menguat dan rupiah melemah makin semakin tercekiklah rakyat.

Keuntungan apa yang didapat Indonesia? Apakah kurang puas untuk menyengsarakan rakyat? Ketika Paus Vatikan melirik ekonomi Islam, lantas kenapa umat Islam sendiri malah enggan untuk menerapkannya?

Di dalam surat Ar Rum: 41 Allah telah berfirman: " Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar).

Islam bukan sebatas ibadah ritual semata. Namun seperangkat aturan hidup yang membawa keberkahan hakiki. Islam mengatur bagaimana seharusnya kilang minyak yang merupakan milik rakyat, harus dikelola untuk kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Baik muslim maupun non muslim, kaya maupun miskin. Haram tambang-tambang minyak dikuasai swasta, apalagi asing.

Itulah Islam dengan rahmatan lil'alamin. Aturan yang berasal dari Sang Pencipta yang tak memiliki cacat sedikitpun. Ukurannya pas dengan kebutuhan manusia. Seharusnyalah kita kembali padanya, agar rahmat Allah benar-benar tercurah untuk negeri ini. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version